Sesi ini melibatkan tokoh-tokoh kunci dari PBLN - Syaifullah, Wakil Ketua PBLN; Miea Kusuma, Sekretaris Jenderal PBLN; dan tim riset PBLN yang dipimpin oleh Yudi Nurul Ihsan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran (Unpad).
Ruang itu tidak hanya diisi oleh para penggiat ini; nelayan dari berbagai provinsi - Sukabumi, Lebak, dan Lombok - berbagi cerita mereka. Di tengah semuanya, kehadiran bercahaya Wulan Guritno melambangkan jembatan antara aktivisme selebriti dan perjuangan akar rumput.
Baca Juga: Ada Usulan Pembubaran KPK, Jokowi Langsung Buka Suara
Anom, yang berasal dari wilayah pesisir Mandalika di Lombok, NTB, menggambarkan gambaran hidup mereka dengan jelas. Mandalika, yang dijuluki sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang menjanjikan kemakmuran, malah diwarnai oleh kesulitan. Larangan ekspor benih lobster telah menjatuhkan pendapatan para nelayan ke dalam jurang.
Anom mengungkap bagaimana mata pencaharian yang dulu stabil tiba-tiba terguncang. Bahkan mereka yang pernah membiayai kendaraan sekarang bergumul dengan cicilan yang belum dibayarkan.
Siti, istri seorang nelayan dari Lebak, Banten, ikut serta, mengisahkan perjalanan mereka yang penuh gejolak dalam stabilitas ekonomi. Larangan itu telah merusak masa istirahat singkat dari kesusahan keuangan mereka, dan dia dengan penuh semangat memohon untuk melegalkan penangkapan benih lobster.
Dialog ini menggema seperti simfoni aspirasi - permohonan akan kebijakan pragmatis yang tidak hanya akan melestarikan lobster, tetapi juga martabat dan mata pencaharian mereka yang terkait erat dengan ombak.
"Kami minta (penangkapan) benih lobster dilegalkan, karena alhamdulillah kalau legal, kami menangkap lobster jadi enggak takut karena sekarang adanya dilarang itu maka nelayan kami tidak sejahtera," kata Siti yang juga membawa anak balita.***