Singgung Persepsi Negatif UU Cipta Kerja, DPR Ungkap 12 Poin yang Diklaim Berpotensi Jadi Isu Hoaks

HM
- 7 Oktober 2020, 16:39 WIB
Ilustrasi Omnibus Law.
Ilustrasi Omnibus Law. /Pikiran-rakyat.com

PR DEPOK –Pengesahan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 mengundang sejumlah protes dari berbagai pihak.

Protes tersebut ditujukan kepada pemerintah dan DPR yang dinilai tidak mendengar aspirasi kalangan buruh sebagai pihak yang dirugikan dengan adanya UU Cipta Kerja.

Kontroversi RUU Cipta Kerja yang sejak awal dicetuskan banyak mengundang persepsi negatif hingga muncul sejumlah hoaks atau berita bohong yang bertebaran di masyarakat.

Terkait hal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI angkat bicara untuk meluruskan sejumlah persepsi salah yang diterima masyarakat.

Dilansir Pikiranrakyat-depok.com dari akun Instagram resmi DPR RI, terdapat beberapa poin yang diluruskan sebagai berikut.

Baca Juga: Masyarakat Diminta Tak Terprovokasi Hoaks Terkait UU Cipta Kerja, DPR: Uang Pesangon Tetap Ada

Pertama, terkait uang pesangon yang dikabarkan akan dihilangkan.

Faktanya, menurut penjelasan DPR dari akun Instagramnya menyatakan bahwa uang pesangon akan tetap ada.

Dalam Pasal 89 Bab IV Ketenagakerjaan tentang perubahan terhadap Pasal 156 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003 diatur bahwa saat erjadi pemutusan hubungan kerja pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja seperti.

Kedua, terkait Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang dikabarkan akan dihapuskan.

Nyatanya, menurut penjelasan DPR Upah Minimum Regional (UMR) akan tetap ada.

Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 89 Bab IV Ketenagakerjaan tentang perubahan terhadap Pasal 88 C UU 13 Tahun 2003 ayat 1 hubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

Baca Juga: Tiga Hoaks Soal UU Cipta Kerja yang Disebut Menjadi Pemicu Aksi Penolakan dari Serikat Buruh

Kemudian pada ayat 2 Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan upah minimum provinsi.

Ketiga, terkait upah buruh yang dihitung perjam.

Faktanya, menurut penjelasan DPR menyatakan bahwa tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang upah bisa dihitung berdasarkan waktu atau berdasarkan hasil.

Aturan tersebut diatur dalam Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 88 B UU 13 Tahun 2003. Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, dan/ atau satuan hasil.

Keempat, terkait semua hak cuti yang dikabarkan akan hilang dan tidak ada kompensasi.

Faktanya, menurut penjelasan DPR menyatakan bahwa hak cuti akan tetap ada seperti ketetapan yang diatur dalam Pasal 89 ayat 1, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti.

Sementara pada ayat 3 menjelaskan bahwa cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yakni cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja selama 1 bulan secara terus menerus.

Baca Juga: Tiga Hoaks Soal UU Cipta Kerja yang Disebut Menjadi Pemicu Aksi Penolakan dari Serikat Buruh

Dalamnayat 5 menjelaskan, selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjasama.

Kelima, terkait outsourcing yang dikabarkan akan diganti dengan kontrak seumur hidup.

Faktanya, DPR menjelaskan bahwa outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinkan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya.

Aturan tersebut tertulis pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap pasal 66 ayat 1 UU 13 Tahun 2003.

"Hubungan kerja antara pengusaha alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu"

Keenam, terkait tidak akan adanya status karyawan tetap. DPR menjawab bahwa faktanya, status karyawan tetap masih ada yakni dimuat dalam Pasal 89 tentang perubahan terhadap pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003.

Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu"

Ketujuh, terkait perusahaan yang dikabarkan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak. Menurut DPR, perusahaan tidak bisa memutus hubungan kerja secara sepihak.

Baca Juga: Didukung oleh Pasal yang Dimuat UU Cipta Kerja, TKA Disebut-sebut Semakin Mudah Bekerja di Indonesia

Ketetapan tersebut diatur pada Pasal 90 Tentang perubahan terhadap Pasal 151 UU 13 Tahun 2003.

(Ayat 1) "Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh"

(Ayat 2) "Dalam hal kesepakatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan"

Kedelapan, terkait jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya yang dikabarkan akan hilang.

DPR menyatakan bahwa jaminan sosial akan tetap ada.

Tertulis pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 18 UU 40 Tahun 2004.

Jenis program jaminan sosial meliputi; Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Kesembilan, terkait semua karyawan yang dikabarkan akan berstatus tenaga kerja harian. DPR menegaskan bahwa status karyawan tetap masih ada.

Tertulis pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 56 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.

Kesepuluh, terkait tenaga asing yang yang dikabarkan bebas masuk. DPR mengklaim bahwa tenaga asing tidak bebas masuk, harus memenuhi syarat dan peraturan.

Baca Juga: Atasi Angka Kelahiran Rendah, Singapura Beri Tunjangan Bagi Bayi yang Lahir di Masa Pandemi Covid-19

Tertulis pada Pasal 89 tentang perubahan terhadap Pasal 42 Ayat 1 UU 13 Tahun 2003, Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga asing dari Pemerintah Pusat.

Kesebelas, terkait ancaman PHK terhadap buruh yang melakukan protes.

DPR menyatakan hal tersebut tidak benar. Jika ada aturan yang tidak sesuai dengan kesepakatan, maka buruh bisa melakukan protes.

Keduabelas, terkait libur hari raya yang dikabarkan hanya akan diberikan pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti.

DPR menjawab mengklaimnbahwa sejak dulu penambahan libur di luar tanggal merah tidak diatur undang-undang tapi itu adalah kebijakan pemerintah.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: DPR


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x