Akademisi Hukum Nilai TNI Tak Bisa Selesaikan Masalah Terorisme Sendirian, Sebut HAM Bisa Terancam

29 November 2020, 08:42 WIB
Ilustrasi terorisme. /kalhh/Pixabay

PR DEPOK – Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Tristam Pascal Moeliono menilai penyelesaian persoalan terorisme tidak bisa hanya dengan pendekatan TNI.

Tristam menanggapi itu lantaran pemerintah dan DPR masih terus menggodok rancangan peraturan presiden (Raperpres) tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.

Seperti diketahui, DPR mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk Badan Pengawas terkait dengan Perpres tersebut.

Baca Juga: Kutuk Aksi Teror Gereja dan Jemaat di Sulteng, PSI: Tindakan Biadab dan Tidak Berperikemanusiaan

Ia menyebutkan bahwa definisi terorisme dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang terorisme tidak memenuhi asas legalitas, yaitu asas lex certa (rumusan yang jelas).

“Perpres itu tidak memenuhi asas legalitas atau rumusan yang jelas, sehingga distribusi kewenangan dari presiden kepada TNI melalui rancangan perpres ini cukup berisiko,” ucap Tristam dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Menurutnya, threshold (ambang batas) pendekatan hukum berubah menjadi pendekatan militer juga tidak jelas diatur dalam rancangan perpres tersebut.

Baca Juga: KKP Minta Lulusan Sekolah Perikanan Mampu Ciptakan Lapangan Kerja

Kemudian, terkait penindakan dari kacamata militer, ia menilai tentu berbeda rumusannya dengan menindak dari kacamata penegakan hukum.

Ia berpendapat bahwa rancangan perpres ini seharusnya memperjelas hal tersebut.

Lebih lanjut, persoalan akuntabilitas dan transparansi menurutnya adalah hal yang perlu perlu dijawab melalui rancangan peraturan presiden (Raperpres) tersebut.

Baca Juga: Sambut Baik Langkah Pemerintah Soal PTM, DPR: Tetap Harus Waspadai Pandemi Covid-19

“Terorisme yang berkembang terus menerus tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan TNI dan hukum pidana saja, melainkan perlu pendekatan lain,” katanya.

Ia menuturkan bahwa Raperpres tersebut diberikan beban terlalu berat seolah dapat menyelesaikan semua masalah terkait terorisme.

Di sisi lain, dosen hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Bivitri Susanti menilai rancangan Perpres tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme itu sudah salah dan keliru dalam mengaturnya terkait ancaman Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga: Satu Keluarga di Sigi Dibantai oleh Terduga MIT, MUI: Jangan Terprovokasi Oknum yang Ingin Adu Domba

Menurut penilaiannya, catatan-catatan terkait ancaman terhadap HAM dan militerisme menjadi penting untuk diperhatikan.

“Kekhawatiran masyarakat tidaklah berlebihan, karena belakangan memang diskursus kembalinya militer menangani peran otoritas sipil semakin menguat,” kata Bivitri.

Ia menjelaskan bahwa hal itu seperti kasus anggota TNI yang menurunkan spanduk dan baliho Habib Rizieq Shihab di sejumlah tempat.

Baca Juga: Diduga Hambat Tugas Satgas Covid-19, Dirut dan Manajemen RS UMMI Bogor Dilaporkan ke Kepolisian

“Seperti yang terbaru soal penurunan spanduk HRS oleh militer. Selain itu faktor sejarah panjang yang kelam soal dominasi peran militer dalam urusan sipil juga masih menjadi catatan di tengah masyarakat,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Totok Yulianto menyebutkan perlu kebijakan yang komprehensif dalam penanganan terorisme.

Menurutnya, tidak hanya dalam bidang hukum, melainkan juga ekonomi, politik dan sosial.

Baca Juga: Komnas Perempuan Temukan 1.458 Kasus Kekerasan Berbasis Gender Selama Masa Pandemi Covid-19

“Apakah pendekatan penanganan terorisme di Indonesia akan bergeser dari criminal justice system menjadi war model? Ini sangat tergantung pada rancangan perpres yang saat ini menjadi perhatian publik,” tutur Totok.

Oleh sebab itu, ia mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo dan DPR perlu mendengar masukan dari masyarakat guna mengurangi dampak negatif dari kebijakan penanganan terorisme di Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga menyampaikan bahwa saat ini pelibatan perempuan dalam aksi-aksi terorisme tidak hanya sebatas supporting terhadap pelaku terorisme melainkan sudah menjadi pelaku.

Baca Juga: Habib Rizieq Keberatan Hasil Swab Diketahui Pemkot, Satgas: Kami Tak Akan Publikasikan Data Pasien

Kini, menurutnya para kelompok ekstrimisme sudah sangat menyasar pada kelompok perempuan. Maka dari itu, sudah seharusnya dilakukan pencegahan secara komprehensif.

Ia juga meragukan apakah peranan dari Perpres yang dibuat tersebut dalam konteks penangkalan atau pencegahan dapat dilakukan dengan maksimal ke depannya.

“Pertanyaannya apakah TNI memiliki kemampuan itu, apakah itu tidak menyebabkan tumpang tindih dengan pencegahan penanggulangan terorisme juga, apakah untuk penangkalan ini harus TNI,” kata Siti.

Baca Juga: Daftar Harga Emas Antam Mulai dari Retro hingga UBS di Pegadaian pada Hari Minggu, 29 November 2020

Terkait penindakan dalam Perpres itu, Siti berpendapat ada keleluasaan kewenangan untuk dilakukan penyelidikan, tetapi hal itu tidak sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.

“Kemudian untuk pemulihan, pertanyaan saya pemulihan yang dimaksud dalam Perpres ini seperti apa, karena bicara pemulihan berarti tidak hanya bicara kepada para tersangka atau pelaku,” ujar Siti.

Akan tetapi, ia menilai terkait pemulihan itu juga soal bagaimana mengintegrasikannya dengan warga lain dan menghilangkan stigmatisasi, sehingga menghilangkan faktor penarik dan pendukungnya.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Minggu, 29 November 2020: Aquarius Miliki Peluang Besar

“Apakah itu bisa dilakukan TNI karena pendekatan penangkalan pemulihan itu membutuhkan pendekatan non-keamanan,” ucapnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler