WNI di Eropa Ceritakan Suka Duka saat Lockdown Akibat Virus Corona

2 April 2020, 13:07 WIB
Bendera Uni Eropa. //PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - Dunia masih berperang dengan virus corona atau Covid-19, bahkan di bulan ke lima sejak pertama kali terdeteksi di Kota Wuhan, Tiongkok.

Pandemi virus corona yang telah menewaskan ribuan orang itu bahkan mampu membalikkan kondisi berbagai negara.

Kota yang tadinya ramai kini sepi, berkumpul di tempat hiburan yang tadinya mengasyikkan kini jadi momen yang amat riskan dan menakutkan.

Sejumlah negara, terlebih di Eropa dan Amerika Serikat, bahkan membuat kebijakan lockdown atau karantina wilayah demi menekan penyebaran virus corona.

Baca Juga: Ridwan Kamil Unggah Puisi Bocah 7 Tahun Tentang Virus Corona 

Hal yang terjadi setelah itu adalah panic buying di tengah kebijakan dan imbauan pemerintah kepada rakyatnya untuk beraktivitas di rumah entah itu belajar atau bekerja.

Masyarakat takut bila di kemudian hari stok makanan di supermarket juga habis sehingga mereka tak segan membeli kebutuhan hidup dalam jumlah banyak.

Tisu toilet, sabun, hand sanitizer, masker, makanan pokok, popok bayi, dan komoditas pangan lain yang dianggap mampu menunjang keberlangsungan hidup masyarakat, menjadi sasaran bagi mereka yang kepanikan.

Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara, ini adalah cerita yang dibagikan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang menetap di Eropa, tepatnya di Swiss.

Hesti Aryani menjadi WNI yang mengalami bagaimana rasanya lockdown di Eropa.

Baca Juga: NASA dan ESA Berhasil Temukan Black Hole 'Pembunuh Kosmik' 

Cerita dimulai dari keadaan supermarket. Di Kota Zurich, Swiss, Hesti mengaku diwajibkan menjaga jarak sepanjang dua meter dengan konsumen lain ketika sedang mengantre baik itu di meja kasir atau di pos hand sanitizer untuk mencuci tangan.

“Karena dibatasi tidak boleh lebih dari 50 orang di dalam gedung swalayan dalam satu waktu. Jadi kami harus antre untuk membersihkan tangan dahulu menggunakan sanitizer, baru boleh masuk,” kata Hesti.

Kota Zurich hanya membolehkan usaha jenis farmasi, kantor pos, pom bensin, dan pasar swalayan untuk dibuka dalam kondisi lockdown.

Pasar swalayan pun hanya melayani penjualan bahan makanan serta kebutuhan sehari-hari seperti sabun.

Baca Juga: Penemuan Teknologi Mesin Exovent Paru-paru Besi dapat Bantu Atasi Virus Corona 

“Stok barang-barang penting seperti sabun dan hand sanitizer yang dua minggu lalu sempat habis karena orang-orang panic buying, sekarang sudah normal. Stok sudah tersedia kembali,” ujar Hesti.

Sejak pemerintah Swiss menetapkan pembatasan sosial awal Maret lalu, kegiatan di ruang-ruang publik terhenti.

Masyarakat dianjurkan untuk bekerja dari rumah, kegiatan sekolah, dan perkuliahan juga dilanjutkan secara daring di rumah.

Transportasi umum seperti bus dan trem masih beroperasi, namun hanya sedikit penumpang yang menggunakan moda transportasi publik itu.

Baca Juga: Mitos Umum Pertanyaan Penghilang dan Obat Virus Corona 

Lebih lanjut Hestu mengaku bahwa di sana, pemerintah terus mengimbau agar masyarakat Swiss untuk mempraktekkan gaya hidup bersih.

Caranya dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun, tidak batuk atau bersin sembarangan, dan menjaga jarak fisik dengan orang.

Imbauan ini bahkan disampaikan pemerintah melalui poster yang dipajang di pintu-pintu apartemen.

Pada umumnya, kata Hesti, masyarakat Zurich sangat mematuhi imbauan tersebut untuk mencegah semakin meluasnya penularan Covid-19.

Baca Juga: Ragam Fasilitas Karantina Virus Corona di Asia, dari Hotel Mewah hingga Kamp Kumuh 

“Di sini orang-orangnya patuh sekali. Karena meskipun muda, sehat, dan imunitasnya kuat, tetapi kita bisa menjadi carrier yang bisa menularkan virus ke orang lain di sekitar kita yang lebih rentan terinfeksi,” ujar pengajar Bahasa Indonesia di Universitas Zurich itu.

Pemerintah setempat melalui situs resminya secara rutin menginformasikan perkembangan situasi dan penanganan wabah tersebut sehingga masyarakat dapat merespons dengan tepat.

“Overall kami merasa aman karena pemerintah rutin memberikan informasi dan informasinya pun tidak membuat panik. Langkah-langkah yang harus kami lakukan juga diinformasikan di situ,” kata Hesti, yang tinggal di Zurich bersama suami dan putrinya.

Sementara itu di Jenewa, Swiss, warga sudah tidak bisa lagi berjemur atau sekadar menikmati suasana di taman-taman.

Baca Juga: Polisi India Cosplay Jadi Virus Corona, Takuti Warga Agar Tak Keluar Rumah 

“Warga tidak boleh keluar rumah kalau tidak perlu. Berkumpul lebih dari lima orang di luar rumah juga tidak boleh,” ujar Sonya Michaella, seorang WNI yang tinggal di Jenewa.

Agar tidak tertular virus corona atau Covid-19, Sonya dan suaminya sangat disiplin menerapkan perlindungan dan pembersihan diri.

Setelah keluar rumah, ia akan langsung mandi dan mengganti pakaian. Tidak lupa, dia akan mengelap bagian bawah sepatu sesudah dipakai keluar rumah.

“Sejauh ini kami hanya keluar untuk membeli bahan pangan. Itu pun tidak sampai satu jam, paling lama hanya 30 menit,” kata Sonya.

Baca Juga: Apakah Masker Kain Efektif Cegah Virus Corona? Simak Penjelasannya 

Swiss menjadi salah satu negara yang paling terdampak yang tercatat hingga 1 April 2020 sebesar 16.605 kasus positif virus corona cdengan total 433 kematian dan 1.823 orang dinyatakan sembuh.

Situasi di Prancis

Sementara di Prancis, jumlah infeksi virus corona ada 52.128 kasus dengan 3.523 kematian dan 9.444 sembuh.

Angka tersebut menempatkan Prancis di posisi keempat negara paling terdampak Covid-19 di Eropa, setelah Italia, Spanyol, dan Jerman.

Tingginya kasus positif virus corona di Prancis disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial atau physical distancing yang digaungkan pemerintah.

Baca Juga: Cek Fakta: Hoaks Kabar Pemilik E-KTP Diberi Kompensasi Rp 1 Juta 

“Pada saat itu (16 Maret 2020) sudah mulai ada pengecekan oleh polisi. Kita harus mengisi surat pernyataan alasan untuk keluar rumah. Kalau melanggar ada dendanya, awalnya 135 euro sekarang sudah naik,” ujar Winna Lia, seorang mahasiswa Indonesia di yang tinggal di Paris.

Mencermati perkembangan situasi di Pusat Mode Dunia itu, Winna menilai kepatuhan masyarakat terhadap aturan berangsur-angsur meningkat. Di ruang publik, masyarakat juga sudah menjaga jarak satu dengan lainnya.

“Jujur saya jauh lebih khawatir dengan kondisi di Indonesia daripada di sini karena saya belum melihat kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk lebih tegas,” ujar Winna.

Cinan, seorang WNI yang menikah dengan warga Prancis dan sekarang tinggal di Nantes mengaku sempat menyaksikan kondisi panic buying saat orang-orang membeli kebutuhan dalam jumlah yang banyak hingga stok sabun batang dan tisu toilet habis di pasaran.

Baca Juga: Ikuti Mayoritas Bursa Asia Imbas Corona, Sesi I IHSG dan Rupiah Kembali Dibuka Melemah 

Ia prihatin, sebab petugas kasir di supermarket harus bekerja dengan perlindungan yang minim, bahkan tanpa masker.

Lebih lanjut, Cinan mengaku di tengah kewaspadaan yang terus dibangun untuk mencegah penularan virus, rasa solidaritas antarmasyarakat di Prancis masih senantiasa dipupuk.

Tidak jarang, Cinan membantu tetangganya yang lansia yang sama sekali tidak bisa keluar rumah karena kondisi fisik yang lebih rentan tertular.

“Saya masih bisa keluar rumah untuk olahraga, jadi masih bisa lari asal sendirian, tidak lebih dari satu jam dan dalam radius 1 kilometer dari tempat tinggal. Saya beberapa kali ikut membantu tetangga lansia untuk membawa anjingnya jalan-jalan di luar,” kata Cinan.

Baca Juga: Cek Fakta: Hoaks Kabar Tiongkok Kirimkan Baju Bekas Pasien Virus Corona 

Semangat solidaritas yang sama juga ditunjukkan warga Zurich, yang tidak segan membantu kerabat atau tetangga yang lanjut usia untuk membelanjakan kebutuhan sehari-hari dan mengantar ke tempat tinggal mereka.

Kesadaran dan solidaritas seperti ini, dinilai perlu terus digalakkan untuk membantu seluruh masyarakat melalui masa-masa sulit hingga pada akhirnya wabah berhasil dikalahkan.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Permenpan RB

Tags

Terkini

Terpopuler