PR DEPOK – Setelah merebut Kota Kabul, kelompok Taliban melalui juru bicara mereka berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan Afghanistan.
Akan tetapi, berdasarkan fakta di lapangan, janji menghormati hak perempuan Afghanistan nampaknya menunjukkan tanda-tanda yang berbeda.
Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Guardian, kini muncul beberapa laporan terkait kenyataan lain terkait hak perempuan Taliban yang dijanjikan Taliban.
Misalnya, nasib perempuan yang melakukan aksi protes di Herat, dua minggu lalu mereka dipecat dari pekerjannya.
Saat Taliban meminta perempuan untuk tinggal di rumah dengan alasan keamanan, nada komunikasi yang diperlihatkan nampaknya tidak menyenangkan.
Sementara itu, Heather Barr, direktur asosiasi divisi hak-hak perempuan di Human Rights Watch menyoroti alasan Taliban membatasi hak bekerja dan berpendidikan bagi perempuan di Afghanistan.
“Kami mendengar beberapa penjelasan ini pada tahun 1996 hingga 2001, ketika Taliban mengatakan bahwa alasan anak perempuan tidak dapat belajar dan wanita tidak dapat bekerja adalah karena situasi keamanan yang tidak baik, dan setelah situasi keamanan membaik, mereka dapat pergi ke sana. kembali. Tentu saja momen itu tidak pernah tiba,” kata Heather Barr.
Menurutnya Taliban hanya menyamarkan rasa benci terhadap perempuan-perempuan Afghanistan.
“Ini menunjukkan bahwa bahkan pada 1990-an Taliban merasa perlu untuk menyamarkan beberapa kebencian terhadap wanita mereka. Jadi ini bukan strategi komunikasi yang sama sekali baru yang mereka kejar sekarang dan wanita Afghanistan dapat melihatnya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti aturan wali laki-laki, atau mahram untuk menemani perempuan Afghanistan di ruang publik
Lalu, dalam dunia pendidikan juga, ada tanda-tanda yang jelas bahwa perempuan Afghanistan akan menghadapi pengucilan yang luas dan merusak.
Pasalnya, menteri pendidikan tinggi yang baru telah membuat kebijakan yang baru, yaitu perempuan dan laki-laki harus dipisahkan di universitas.
Kebijakan ini berpeluang membuat perempuan Afghanistan mendapatkan pendidikan berkualitas lebih rendah.
Selain itu, perempuan harus disediakan transportasi di dalam bus dengan jendela tertutup dan tirai yang memisahkan mereka dari sopir yang kemungkinan adalah laki-laki.
Selanjutnya, perempuan Afghanistan harus dikurung di ruang tunggu di antara kelas, bahkan mengatur rinci warna pakaian yang diperlukan untuk siswa dan guru perempuan.
“Semua kelas baru harus dipisahkan, dan di kelas saat ini dengan perempuan di bawah 15 tahun, “partisi syariah” harus didirikan untuk memisahkan siswa dari jenis kelamin yang berbeda. Idealnya, guru juga akan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kata aturan baru. Ke depan, semua perguruan tinggi harus menyediakan guru perempuan untuk kelas perempuan. Mereka juga harus mencoba menggunakan guru yang lebih tua dengan latar belakang yang baik,” demikian penggalan aturan tersebut.
Lalu, dalam sebuah pertemuan, pejabat pendidikan diberitahu bahwa perempuan tidak akan pernah bisa mengajar siswa laki-laki.
Tetapi, sebaliknya laki-laki mungkin bisa mengajar perempuan bila tidak ada dosen perempuan yang tersedia.
Sejauh ini, beberapa wanita Afghanistan mengakui telah menyerah pada pendidikan mereka, karena takut akan aturan baru Taliban dan masa lalu mereka yang brutal.
“Saya tidak percaya Taliban. Saya takut dengan aturan mereka dan saya khawatir kehilangan nyawa tanpa alasan di bawah kendali mereka,” kata seorang siswa, yang tinggal di asrama saat belajar di Kabul, dia tidak lagi berpikir bahwa Taliban akan mengizinkannya.
Untuk diketahui, janji Taliban terkait hak perempuan Afghanistan telah mendorong diskusi internasional tentang seberapa banyak Taliban telah berubah sejak kebencian terhadap wanita yang ekstrem dan menindas pada tahun 1990-an.
Dunia internasional juga memberikan waktu kepada kelompok itu untuk membentuk pemerintahan dan menyusun kebijakannya sebelum menekan terlalu keras hak-hak perempuan.
Akan tetapi, saat ini semakin banyak bukti dari seluruh Afghanistan bahwa janji itu sebatas pesan, dan bukan ideologi.
Terlepas dari janji Taliban, para wanita Afghanistan mengatakan mereka bertekad untuk terus berjuang.
Mereka bahkan menyerukan peran dalam pemerintahan, setelah Taliban mengesampingkan wanita manapun yang memegang posisi tingkat kabinet.
“Kami telah melalui perang, dan konflik juga, mengapa kami harus disingkirkan sepenuhnya dari politik?,” kata Fatima, seorang manajer usaha kecil.***