Duka Belum Usai, Setahun Tragedi Penembakan Sadis di Masjid Christchurch

- 8 Maret 2020, 11:25 WIB
Maysoon Salama, salah satu keluarga korban penembakan Christchurch.*
Maysoon Salama, salah satu keluarga korban penembakan Christchurch.* /The Guardian/Alex Lovell Smith/

PIKIRAN RAKYAT - Penembakan di Masjid Al Noor di kota Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret 2019 menghancurkan ilusi kehidupan aman dan tenteram yang dijalani oleh warga Selandia Baru.

Dampak serangan itu terhadap warga Selandia Baru sangat besar, utamanya untuk warga Muslim Selandia Baru karena sebelumnya negara itu tak pernah mengalami konflik rasial dan Islamofobia yang memakan korban jiwa.

Kini, setahun setelah tragedi penembakan Christchurch, warga Muslim Selandia Baru kembali ke kehidupannya masing-masing dengan ketegangan yang mengintip di setiap sudut mata.

Dikutip dari situs berita The Guardian oleh pikiranrakyat-depok.com, warga Muslim Christchurch berbagi pengalamannya ketika dan sesudah menghadapi tragedi itu.

Baca Juga: Burnley Vs Tottenham, Sepakan Penalti Alli Selamatkan Spurs dari Kekalahan 

Hisham al Zarzour adalah salah satu saksi hidup dari penembakan itu.

Berlindung di balik tubuh-tubuh yang jatuh tertembak oleh pelaku penembakan keji itu, Zarzour tidak menyangka bahwa kehidupan tenangnya selama tujuh bulan di Selandia Baru akan diwarnai oleh trauma.

Dia bahkan berdoa agar Allah mengirimnya kembali ke Suriah.

“Dalam 10 menit penembakan itu, aku berdoa, ‘Kembalikan aku ke medan perang'. Aku ingin masuk penjara di Suriah dan mati di sana saja.

"Meski di sana terasa seperti sampah, hal itu lebih baik daripada saat ini,” ujar Zarzour, menceritakan pengalaman traumatisnya.

Baca Juga: Lawan Peresmian Omnibus Law, Tagar #GejayanMemanggil Kembali Menggema di Twitter 

Setelah penembakan usai, Zarzour bangkit dari balik dua tubuh yang tumbang tertembak.

Wajah pertama yang dilihatnya adalah wajah Khaled Mustafa, teman terdekatnya di Selandia Baru dan anak dari Mustafa, Hamza (16).

Setelah penembakan itu, terkadang Zarzour mengigau pada pukul enam pagi dan terbangun setengah jam sekali karena mimpi buruk.

Luka akibat peluru yang menghujam kakinya masih terasa berdenyut dan menyakitkan.

“Sejujurnya, aku minum obat depresi sebanyak 600 gram setiap harinya untuk melupakan kejadian itu. Namun aku tak bisa lupa,” tutur Zarzour.

Baca Juga: Terus Jadi Sorotan, KPK Tegaskan Tidak akan Kurangi Penindakan Kasus Korupsi 

Selain Zarzour, Maysoon Salama juga merasakan hal yang sama mengenai penembakan Maret lalu.

Salama selalu mengingat anaknya, Atta Elayyan (33), yang meninggal dalam penembakan itu.

“Dia memiliki hati yang lembut, dan dia melakukan segala sesuatu tanpa pamrih.

"Jika ada kesusahan sekecil apapun yang menimpa orang lain, dia pun merasakannya dan ingin membantu orang yang kesusahan itu, entah secara finansial, entah dengan memberi saran, ataupun hanya berbicara,” tutur Salama.

Mengetahui bahwa pemerintah akan mengadakan upacara penghormatan para korban tepat setahun setelah penembakan, Salama justru merasa kurang nyaman.

Baca Juga: Demi Cegah Penyebaran Virus Corona, Seluruh Perusahaan di Depok Wajib Sediakan Hand Sanitizer 

“Kami tahu maksud mereka baik. Pemerintah ingin berbuat sesuatu, dan kami yang mengikutinya berusaha menghargai usaha itu. Namun bagi kami, pertanyaannya apakah kami menginginkan ini? Tidak. Apakah usaha itu membantu kami? Tidak.

"Justru usaha pemerintah ini hanya mengingatkan kami tentang banyak hal. Dan kami merasa tertekan karenanya,” ujar Salama.

Penembakan yang terjadi setahun lalu itu menewaskan 42 orang di Masjid Al Noor dan membuat komunitas Muslim Selandia Baru jadi sorotan media.

Meski hampir setahun berlalu, komunitas Muslim Selandia Baru masih merasa tegang dan berduka.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x