Tiongkok Klaim Muslim Uighur Tewas di Kamp Xinjiang Sejak 2017, sang Putri Korban Menyangkalnya

- 2 Oktober 2020, 20:00 WIB
SEJUMLAH massa dari berbagai elemen melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin, 23 Desember 2019. Dalam aksinya mereka mengecam  dan mengutuk keras penindasan terhadap muslim Uighur. *
SEJUMLAH massa dari berbagai elemen melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Senin, 23 Desember 2019. Dalam aksinya mereka mengecam dan mengutuk keras penindasan terhadap muslim Uighur. * /ARMIN ABDUL JABBAR/PR /

PR DEPOK - Pemerintah Tiongkok dilaporkan telah mengambil langkah secara resmi untuk melakukan konfirmasi kepada Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), hal tersebut terkait kematian seorang pria komunitas muslim Uighur yang diyakini keluarganya telah ditahan di kamp interniran Xinjiang sedari tahun 2017.

Berdasarkan informasi, lebih dari satu juta orang dari komunitas Uighur, dan Muslim Turki di wilayah paling barat Xinjiang diyakini telah ditahan di kamp-kamp sejaki tahun 2017 lalu.

Hal tersebut disinyalir telah dilakukan di bawah tindakan keras terhadap etnis minoritas yang menurut para ahli merupakan genosida budaya.

Baca Juga: Tagar The Simpsons Ramai di Twitter, Disebut Prediksi Kematian Donald Trump Usai Positif Covid-19

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Guardian, Partai Komunis Tiongkok (PKC) dikabarkan telah berulang kali menolak permintaan badan-badan internasional untuk mengunjungi, dan menyelidiki wilayah tersebut secara independen, meskipun reaksi internasional semakin meningkat.

Hilangnya pria Uighur bernama Abdulghafur Hapiz terdaftar di Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghilangan Paksa atau Tidak Disengaja (WGEID) pada April 2019 lalu, namun dikabarkan pemerintah Tiongkok tidak menanggapi pertanyaan resmi hingga bulan ini.

Kala itu benar-benar merespon, bahwa dalam sebuah dokumen, WGEID menerangkan bahwa pensiunan pengemudi dari Kashgar itu telah meninggal hampir dua tahun yang lalu, pada 3 November 2018 dikarenakan pneumonia parah dan tuberkulosis.

Menanggapi keterangan tersebut, Fatimah Abdulghafur selaku putri dari pria komunitas muslim Uighur tersebut menyatakan tidak percaya.

Baca Juga: Selain Subsidi Upah, Pemerintah Salurkan 4 Jenis Bantuan Berikut, Salah Satunya Berlaku Hingga 2021

“Saya tidak percaya,” ucap Fatimah.

Bahkan putri Abdulghafur tersebut mengelak atas diagnosis yang tertulis.

"Jika dia meninggal karena apa pun, itu pasti diabetes," katanya.

Lebih lanjut dirinya menyatakan bahwa ia mengetahui riwayat kesehatan yang dialami oleh ayahnya itu.

“Saya tahu kesehatan ayah saya dan saya telah berbicara tentang masalah kesehatannya. Dia mendapat suntikan (tuberkulosis, Red)," katanya.

Baca Juga: Sempat Mengolok Joe Biden karena Gunakan Masker, Donald Trump Bersuara Serak Hingga Positif Covid-19

Untuk diketahui Abdulghafur merupakan seorang penyair, dan aktivis yang tinggal di Australia, Fatimah mengatakan bahwa dia terakhir kali mendengar kabar dari ayahnya pada April 2016 kala itu ketika ayahnya meninggalkan pesan suara di WeChat yang menyatakan untuk segera dihubungi.

“'Saya memiliki sesuatu yang mendesak untuk diberitahukan kepada Anda, tolong hubungi saya" kata Abdulghafur dalam pesannya.

Namun putri Abdulghafur itupun mengatakan bahwa ketika ia menelepon ayahnya, sang penyair dan aktivis itu tidak ada.

Puteri sang aktivis dan penyair itu yakin bahwa ayahnya telah dikirim ke kamp pada Maret 2017 silam, dan telah mengadvokasi pembebasannya, atau setidaknya informasi tentang keberadaannya sejak itu.

Baca Juga: Bertindak Seperti Hendak Berangkat Kerja, Pria Ini Ternyata di PHK Tanpa Beritahu Istri

“Saya dengan panik mencari ayah saya, ketika dia sudah pergi. Sangat menyedihkan juga karena saya tidak dapat berbicara dengannya sebelum kematiannya," katanya.

Fatimah mengabarkan bahwa pihak berwenang tidak memberikan informasi tentang penguburannya, atau lokasi jenazah ayahnya.

Dia mengatakan pengakuan formal atas kematiannya penting bagi komunitas Uighur bukan hanya karena itu adalah respons yang sangat jarang, selain laporan media pemerintah yang menargetkan klaim mereka, namun juga karena hal tersebut mampu membawa harapan dan kemungkinan jalan hukum.

Ia pun mengatakan bawa tak ada pengacara hak asasi manusia (HAM) yang akan mendekati kasus-kasus sensitif Uighur.

Baca Juga: Buruh Rencanakan Mogok Nasional Protes RUU Cipta Kerja, Gatot Nurmantyo: KAMI Mendukung

"Ini adalah surat resmi dari pemerintah yang diberikan kepada PBB, jadi saya dapat membawa surat ini ke pengadilan internasional untuk mengatakan ini adalah bukti saya, dan biarkan Pemerintah Tiongkok menunjukkan bukti mereka," kata Fatimah.

Fatimah menilai dirinya sukses bila mampu mengungkap semua yang telah menimpanya.

“Bagi saya itu adalah kesuksesan pribadi yang besar. Saya tidak yakin siapa yang bisa membantu saya tapi saya sedang mencari," ucapnya.

Salah satu dari ribuan warga Uighur yang sekarang tinggal di Australia, Abdulghafur mengatakan tidak aman baginya untuk menghubungi keluarganya di Xinjiang secara langsung tetapi telah menerima beberapa pesan melalui pihak ketiga selama bertahun-tahun.

Baca Juga: Kembali Diizinkan Anies Baswedan, Berikut Syarat Warga DKI Jakarta yang Boleh Isolasi Mandiri

WGEID juga menanyakan ibu Abdulghafur dan kedua adiknya yang juga telah menghilang, Abdulghafur pun mengatakan bahwa pihak berwenang melaporkan kembali mengenai ibunya yang berusia 63 tahun kini tengah menjalani kehidupan sosial dan normal.

“Saya belum bisa berbicara dengannya sama sekali. Itu kebohongan lain," katanya.

Ia pun menilai bahwa keluarganya tercinta tengah dalam penahanan rumah, tidak dalam kondisi baik.

“Dia ada di rumah, saya yakin itu. Tapi dia tidak menjalani kehidupan normal. Saya pikir dia dalam tahanan rumah," ucapnya.

Baca Juga: Dibakar Saat Lakukan Siaran Langsung, Bintang TikTok Ini Meninggal Dunia Usai Dirawat Intensif

Abdulghafur mengatakan ketika dia mengajukan permohonan tanpa nama ke WGEID untuk menyelidiki hilangnya keluarganya, saudara perempuannya di Turki telah meminta informasi kepada kedutaan besar Tiongkok di Istanbul, namun kenyataannya saudara perempuannya itu dilecehkan dan diintimidasi setelah memberitahu data pribadinya.

Dalam laporan tahun 2020, WGEID mendesak Tiongkok untuk memberikan informasi kepada keluarga dan kelompok hukum tentang orang komunitas Uighur yang hilang dan mengatakan kegagalan untuk melakukannya sama dengan penghilangan paksa.

Sementara itu, tindakan keras Tiongkok terhadap Xinjiang meluas, menurut penelitian terbaru mengungkapkan bahwa terdapat ratusan kamp penahanan baru dan penghancuran ribuan masjid serta situs budaya dan agama lainnya, hal tersebut mengikuti pengungkapan dalam beberapa bulan terakhir tentang sterilisasi paksa perempuan, dan perluasan program kerja paksa.

PKC secara konsisten membantah tuduhan terhadapnya, dan mengatakan kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan yang dibangun sebagai tanggapan terhadap ekstremisme agama.

Baca Juga: Berkedok Adopsi, Sepasang Kekasih Ini Tega Jadikan Anak Anjing Sebagai Pakan Ternak Ular

Diketahui akhir pekan lalu Presiden PKC Xi Jinping mengatakan kebijakannya di Xinjiang sepenuhnya benar, dan pendidikan penduduk membangun perspektif yang benar tentang negara, sejarah dan kebangsaan.

Dalam pertemuan PKC Xi menyatakan bahwa keuntungan, kebahagiaan, dan keamanan di antara orang-orang dari semua kelompok etnis terus meningkat.

“Rasa keuntungan, kebahagiaan, dan keamanan di antara orang-orang dari semua kelompok etnis terus meningkat,” kata Xi Jinping dalam pertemuan PKC.

Abdulghafur mengatakan bahwa selama Xi Jinping berkuasa, maka komunitas muslim Uighur akan menghilang secara perlahan.

Baca Juga: Diamankan Polisi, Pegunggah Kolase Foto Ma'ruf Amin dengan Bintang Porno Asal Jepang Dijerat UU ITE

"Selama dia tetap berkuasa, itu akan terus berlanjut, dan dunia akan menyaksikan semua orang Uighur menghilang satu per satu," kata Abdulghafur.

Ia pun menilai bahwa pemerintah Tiongkok dilengkapi senjata lengkap untuk benar-benar menghabisi komunitas Uighur.

“Mereka bersenjata lengkap untuk benar-benar menyingkirkan kita atau menjadikan kita salah satu dari mereka, seperti asimilasi lengkap. Tidak ada jalur di antara keduanya," tuturnya.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x