PR DEPOK – Pakar hukum tata negara, Refly Harun, baru-baru ini menyinggung soal gejala otoritarianisme yang mulai muncul di Indonesia.
Gejala ini ditandai dengan banyaknya pihak yang ditangkap dan ditahan hanya karena memiliki pendapat yang berseberangan dengan pemerintah.
Dalam video yang diunggah di kanal YouTube Refly Harun, ia menuturkan bahwa negara cenderung langsung menggunakan instrumen kekuasaannya untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap pemerintahan.
“Jadi negara langsung membenturkan dirinya terhadap mereka dan menggunakan instrumen kekuasaannya untuk menangkap dan menahan, serta mengadili ketiga orang ini, hanya karena 'dianggap melakukan provokasi' terhadap demonstrasi yang berakhir pada anarki,” papar Refly ketika membahas penangkapan tiga petinggi KAMI di 2020 lalu.
Seharusnya, kata Refly, ketika dikritik, meskipun kritik tersebut disampaikan dengan keras dan cenderung menghina, hal tersebut tidak dipermasalahkan selama dilakukan secara fair.
“Jangan menggunakan kekuatan koersif negara untuk membungkam. Misalnya, dengan melaporkan. Coba bayangkan, gara-gara perbedaan pendapat satu pihak bisa melaporkan, dan bahkan ada orang yang bisa melaporkan atas nama pihak lain, dan itu kemudian diproses oleh penegak hukum,” ujar Refly Harun seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com.
Baca Juga: Jadwal Pemadaman Listrik Kota Depok Senin, 8 Februari 2021, Mulai Pukul 10.00 hingga 16.30 WIB
Di sisi lain, penegak hukum, lanjutnya, seharusnya tidak langsung memproses orang-orang yang merasa dihina atau diprovokasi, karena bisa jadi motif utamanya adalah sebagai sarana untuk membungkam pihak tertentu.
“Nah ini tidak boleh. Jadi saya mengatakan era orde baru, tidak bisa dibandingkan dengan era orde reformasi saat ini,” tuturnya.
Menurutnya, meski pada zaman orde baru tidak ada kebebasan untuk bersikap kritis dan berpendapat, namun pada saat itu tidak ada yang namanya media sosial.
Sehingga, katanya, orang-orang kritis ini tidak diserang oleh akun-akun buzzer yang dibayar pihak tertentu untuk menghina, mencaci, dan sebagainya.
“Tentu memang tidak bisa dibandingkan (masa orba dengan reformasi). Hanya satu hal yang harus diwanti-wanti kepada siapapun pegiat kebebasan sipil, agar jangan terlalu mudah untuk mengambil tangan kekuasaan, tangan negara, dalam membungkam pihak lain yang berbeda pendapat,” ujarnya.***