Dukung Presiden dan DPR Revisi Pasal Karet dalam UU ITE, Pakar Keamanan Siber: Cukup Gunakan KUHP

17 Februari 2021, 18:41 WIB
Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr. Pratama Persadha. /Antara/HO-CISSReC

PR DEPOK – Pakar keamanan siber dari CISSReC, Dr. Pratama Persadha mendukung Presiden Jokowi dan DPR RI untuk merevisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19/2016.

Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC, berpendapat, bahwa dalam urusan pencemaran nama baik, cukup menggunakan KUHP.

"Pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik," katanya, seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari Antara.

Baca Juga: Ungkap Banyak Kasus Korupsi yang Tak Tersentuh Hukum, Jaksa ST Burhanuddin: Jujur Saja Ini seperti Gunung Es

Ia menjelaskan, UU ITE sempat direvisi pada tahun 2016. Saat itu, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja Presiden Jokowi, Rudiantara, didesak untuk mengubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.

Menurut Pratama, yang juga merupakan dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), revisi UU tersebut terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.

Ia menilai, belakangan ini UU ITE semakin mendapat sorotan dari masyarakat disebabkan adanya fenomena saling lapor dari beberapa individu maupun kelompok dengan masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.

Baca Juga: Beri Peringatan atas Revisi UU ITE, PBNU: Bukan Berarti Tak Boleh Muat Larangan tentang Ujaran Kebencian!

"UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Hal tersebut yang dinilainya membuat kepolisian mendapatkan tekanan dari masyarakat. Sebab, yang menjadi titik permasalahan ialah masing-masing pihak ingin laporannya segera ditindaklanjuti.

Pratama memberikan contoh, dari sejumlah kasus hoaks, penyebar informasi bohong saja yang ditangkap, padahal mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang diunggah adalah hoaks.

Baca Juga: Pendapatan Negara Berkurang, Rocky Gerung: Jangan Salahkan Tuhan, Ambisi Presiden yang Harusnya Diturunkan

Oleh sebab itu, Pratama memandang perlu merevisi UU ITE agar kelak mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual.

Ia Pratama menjelaskan, dalam sebuah konten hoaks, memang ada tersangka yang menyebarkan informasi bohong tersebut. A

kan tetapi, ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar.

Baca Juga: Sinopsis Film Venom, Kisah Seorang Jurnalis yang Tubuhnya Menyatu dengan Symbiote Misterius

"Apalagi, edukasi anti hoaks di tengah masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal," katanya.

Meski begitu, bukan berarti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 UU ITE, misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman.

Menurutnya, ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang bisa digunakan. Meski tindakannya sama, bedanya pelanggaran pasal UU ITE tersebut dilakukan dalam ruang lingkup siber.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler