PR DEPOK - Kajian online Ramadhan 1442 Hijriah yang dibatalkan oleh PT Pelni dengan alasan tidak mendapatkan izin dari direksi menimbulkan konflik berkepanjangan.
Usut punya usut, alasan lain yang yang mendukung pembatalan kajian tersebut adalah terkait isu radikalisme.
Kabar ini pun dibuktikan dengan unggahan dari Kristia Budhyarto, Komisaris PT Pelni, sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari akun Twitter pribadinya, @kangdede78, yang membicarakan soal isu radikalisme.
"Radikalisme harus diberangus dari Republik ini, mrk ada dimana-mana mengintai setiap saat, siap menyerang jika mendapat celah & kita lengah. LAWAN," tulis Kristia Budhyarto.
Meskipun mendapat kecaman dari berbagai pihak, ia masih konsisten dengan keputusannya. Ia pun menyerukan seluruh pihak untuk melawan kelompok radikalis.
"Saya tidak terpengaruh dgn kecaman, desakan, sampai ada yg membuat petisi, saya tidak terpengaruh sdktpun. Saya konsisten, bahwa Radikalisme harus DIBERANGUS, pun klo konsekuensinya saya kehilangan jabatan. Jangan takut melawan kaum radikal kawan," katanya dalam cuitan Twitter.
Baca Juga: Imbang 0-0, Posisi Everton dan Brighton di Klasemen Liga Inggris Tidak Banyak Berubah
Tak lama berselang, ia pun mengklarifikasi bahwa pembatalan yang dimaksud bukan terhadap kajian yang dijadwalkan, melainkan beberapa pengisi acara yang dinilai radikal.
Seperti diketahui, pengisi dalam kajian Ramadhan 1442 H di PT Pelni itu mencakup ustaz Firanda Andirja, ustaz Rizal Yuliar, ustaz Syafiq Riza Basalamah, dan Cholil Nafis yang sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Di sela-sela cuitannya, ia juga turut menyampaikan permohonan maaf kepada Cholil Nafis terkait polemik pembatalan yang menjadi bahan perbincangan publik itu.
Baca Juga: Heran Orang-orang Skeptis pada Bukit Algoritma, Sumantri Suwarno: Apa Sih yang Salah dengan Mimpi?
"Bukan krn kecaman bnyk pihak, saya minta maaf krn Kyai Cholil tidak termasuk. Kajian di @pelni162 mmng selama Ramadhan tetap ada. Yg DIBATALKAN yg ada dalam flyer," tulisnya.
Terkait polemik tersebut, dalam channel YouTube Rocky Gerung Official, Hersubeno Arief selaku moderator meminta Rocky untuk menanggapi polemik pembatalan tersebut.
Rocky Gerung berpendapat soal posisi komisaris yang kini berubah menjadi seorang "mata-mata".
"Komisaris jadi mata-mata dewan ideologi," ujar Akademisi tersebut.
Pendiri Sekolah Demokrasi itu pun menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh Komisaris PT Pelni tersebut dungu.
Menurutnya, komisaris itu harus meminta maaf kepada rakyat.
"Kedunguan pertama dia melarang, kedunguan kedua dia minta maaf. Harusnya, dia minta maaf ke rakyat," katanya.
Ia pun menjelaskan terkait profesionalisme komisaris sebagai manajer yang mengatur sebuah perusahaan, khususnya BUMN yang menaunginya, bukan mengatur urusan rohani seseorang.
Ia pun membandingkan ini dengan mekanisme yang sama seperti di kampus.
"Artinya, makhluk ini memang disuruh untuk menjaga ideologi dari BUMN. Hal ini sama seperti yang disebar di kampus. Komisaris itu adalah orang yang ngerti manajemen. Di sini hanya sekadar mengurus rohani," ujarnya.
Dia pun menyindir tindakan yang dilakukan Komisaris PT Pelni tersebut.
Ia menganalogikan tindakan tersebut dengan penjilatan, sekaligus mengkritik sistem yang dinilainya sebagai "sistem penjilatan nasional".
"Kita menggaji mereka hanya untuk memusuhi kita. Ada satu sistem yang membuat orang tidak berubah, dan sistem itu namanya sistem penjilatan nasional," katanya.
Sebagai perbandingan, pengamat Rocky Gerung pun teringat dengan program yang pernah diusung oleh Adolf Hitler untuk "memurnikan" ras arya Jerman yang saat itu sangat diyakininya.
Tidak lupa, dia menyoroti ideologi yang turut mendikte metodologi riset.
"Kalau proyek gini, saya ingat Hitler. Kalau dulu Hitler melakukan itu untuk memastikan bahwa yang dia sedang kerjakan adalah politik untuk memurnikan bangsa Jerman, dan kita sekarang ga tahu kalau ideologi menuntun metodologi. Kan, tidak mungkin suatu riset metodologi membutuhkan paradigma ideologi. Di mana-mana ada kebebasan untuk melakukan penelitian, dan arah penelitian itu ditentukan dalam fakta-fakta laboratorium bukan fata-fakta di partai politik," tuturnya.***