Obat COVID-19 Kombinasi Unair, BIN, dan TNI AD Tidak Lolos Uji Klinis, BPOM: Itu Termasuk Obat Keras

20 Agustus 2020, 07:00 WIB
Obat Covid 19 yang ditemukan peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur. /- Foto: Dokumen: Pribadi/unair.ac.id

PR DEPOK - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengabarkan hasil uji klinis obat kombinasi baru untuk COVID-19 yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair), Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Hasil uji klinis tersebut disampaikan langsung oleh Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito dalam keterangan pers yang digelar secara daring, pada Rabu 19 Agustus 2020.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari RRI, Penny Kusumastuti Lukito menyebutkan hasil uji klinis obat kombinasi untuk COVID-19 yang dilakukan Unair, BIN, dan TNI AD dinyatakan tidak lolos uji klinis.

Baca Juga: Kasus COVID-19 Melonjak di Korsel, Pemerintah Tuding Pendeta Langgar Aturan Isolasi Mandiri

"Hasil pengujian yang dilakukan didapatkan, obat kombinasi Unair, BIN, dan TNI AD termasuk dalam kategori obat keras. Sehingga obat tersebut akan berisiko menimbulkan efek samping," ucap Penny Kusumastuti Lukito.

Meskipun demikian, kata dia, pihaknya belum dapat merincikan risiko efek samping apa yang ditimbulkan dari obat kombinasi tersebut. Hal itu karena masih terus melakukan pengamatan dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama.

"Ada fakta lainnya yang ditemukan saat pengujian. Obat kombinasi ini tak bisa dikonsumsi oleh sembarang orang, khususnya mereka pasien COVID-19 dengan kategori orang tanpa gejala (OTG)," ujarnya.

Sementara untuk kandugannya sendiri, dijelaskan dia, terdapat tiga kombinasi pada obat yang dikembangkan Unair, BIN, dan TNI AD ini, di antaranya Lopinavir/Ritonavir dan Azithromcyin, kemudian Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline, lalu Hydrochloroquine dan Azithromcyin.

Baca Juga: Bocor ke Media, Rencana Anies Baswedan Pasangkan Masker Pada Patung Sudirman Masih Wacana

"Kita masih antisipasi efek sampingnya ya. Sehingga tidak diberikan kepada sembarang orang, apalagi orang yang tidak sakit dan OTG," katanya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan prosedur uji klinis obat sendiri musti dilakukan pada subjek acak melihat dari gejala penyakit seperti ringan, sedang, dan berat. Kemudian demografi penduduk, dan harus memberikan dampak yang signifikan kepada subjek.

"Kami tetap apresiasi pada tim peneliti terhadap upaya pengembangan obat COVID-19. Kalau nanti seluruh proses uji klinis sudah dilakukan sesuai prosedur dan kaidah ilmiah dan dianggap valid, maka BPOM akan berikan izin edar," ucap dia.

Sebelumnya, obat kombinasi yang dilakukan Unair, BIN, dan TNI AD ini diklaim merupakan obat COVID-19 pertama di dunia.

Baca Juga: Soal Deklarasi KAMI, PDIP: Itu Hanya Manuver Politik Saja, Kredibilitasnya Sudah Tergerus Sendiri

Hal itu disampaikan oleh Rektor Unair, Prof Nasih dengan mengatakan bahwa obat tersebut merupakan kombinasi dari berbagai macam obat dan diharapkan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler