Peliknya Ekonomi Nasional, Menkeu Ungkap Indonesia Diwarisi Utang 15,8 Triliun Usai Dijajah Belanda

12 Oktober 2020, 20:00 WIB
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. /Instagram/@kemenkeuri

PR DEPOK - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menceritakan sulitnya kondisi perekonomian Indonesia dari awal kemerdekaan hingga saat ini.

Menurutnya, Indonesia sudah diwarisi utang sejak jaman penjajahan Belanda.

"Dari tahun 1945 sampai 1949 Indonesia masih terus berada dalam situasi intimidasi, konfrontasi, bahkan agresi Belanda. Itu kondisi politik, militer, keamanan, dan ekonomi tidak pasti," ujar Sri Mulyani saat menghadiri acara pembukaan Ekspo Profesi Keuangan, Senin 12 Oktober 2020 seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari RRI.

Sri Mulyani mengatakan bahwa sebenarnya utang Indonesia sudah mencapai ribuan triliun dan utang tersebut sudah merupakan warisan dari Belanda.

Ia juga bercerita bahwa Indonesia telah diwariskan ekonomi yang rusak.

Baca Juga: Menitikkan Air Mata Saat Pidato, Kim Jong Un Minta Maaf Karena Korea Utara Mengalami Masa-masa Sulit

"Saat mulai pemerintahan ini untuk jadi merdeka. Kita tidak memiliki semua harta kekayaan. Harta kekayaan yang ada rusak karena perang, seluruh dan investasi sebelumnya yang dibukukan oleh Belanda menjadi investasi pemerintah Indonesia," ujar Sri Mulyani.

Saat itu, Sri Mulyani mengungkap bahwa GDP Indonesia masih sangat kecil.

Utang Belanda saat itu menjadi utang Indonesia, warisannya juga hanya sekitar Rp15.8 triliun.

Kondisi tersebut juga diperparah dengan besarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kala itu, pembiayaan defisit APBN tidak bisa dilakukan melalui penjualan Surat Berharga Negara (SBN), dan malah meminta Bank Indonesia untuk mencetak uang.

Baca Juga: Polisi Tetapkan 54 Orang sebagai Tersangka Kericuhan Saat Demo di Jakarta, 28 di Antaranya Ditahan

"Yang terjadi kemudian jumlah uang beredar lebih banyak dari suasana kondisi perekonomian, sehingga inflasi meningkat luar biasa besar,” tutur Sri Mulyani.

Pada zaman orde baru, Sri Mulyani mengatakan seluruh utang kemudian digunakan untuk belanja pembangunan, sehingga saat terjadi krisis keuangan Asia, defisit transaksi berjalan (CAD) meningkat serta terjadi tekanan pada nilai tukar rupiah.

“Saat terjadi adjustment nilai tukar rupiah, seluruh neraca perusahaan, perbankan, negara, semua alami tekanan karena dalam waktu sehari, berapa jam nilai tukar rupiah berubah tiba-tiba, volatility meningkat, aset tidak meningkat, perusahaan dengan cash flow rupiah dan utang denominasi asing, neraca akan ambyar,” ujarnya.

Baca Juga: Baru Akan Dikirim ke Presiden Rabu Mendatang, Draf Final UU Cipta Kerja Bertambah 130 Halaman

Kemudian, seru Sri, saat era reformasi, dengan dipimpin tiga Presiden, yakni Presiden B.J Habibie (Presiden RI 1998-1999), Abdurrahman Wahid atau Gusdur (Presiden RI 1999-2001) dan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI 2001-2004) banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan baru.

Meski secara perjalanan cerita yang dialami Indonesia dengan ekonomi yang penuh tekanan, Sri Mulyani optimis bahwa Indonesia akan bisa keluar dengan ekonomi yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Dirinya juga yakin jika Indonesia akan mampu bertahan dari krisis keuangan karena pandemi virus corona yang terjadi.

Baca Juga: Tak Ikut Tolak UU Cipta Kerja Besok, Muhammadiyah: Demo Lebih Banyak Mudharatnya Ketimbang Manfaat

"Kita percaya dengan krisis yang kita hadapi saat ini, bisa untuk mereformasi dan menguatkan Indonesia. Indonesia dihadapkan pada cobaan dan kita bisa lulus jadi lebih baik," ujarnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: RRI

Tags

Terkini

Terpopuler