“Pertama, sebenarnya hukum ini kita mau taruh di mana? Kita sudah sepakat ada UU sebagai kerangka hukum kita berinteraksi di masyarakat. Tapi, kita berharap itu jangan dipakai. Gimana sih?” ujar anggota DPR itu.
Poin yang kedua, lanjut dia, bahwa hukum dibuat guna membangun satu peradaban yang telah disepakati bersama.
“Kan itu nih logikanya, Itu untuk menjaga apa? Untuk menjaga kerukunan, ketertiban, dan sebagainya,” tutur Deddy Sitorus.
Akan tetapi, ia menuturkan bahwa yang terjadi di tengah masyarakat adalah orang-orang merasa ingin sebebas mungkin bersuara.
“Yang terjadi pada kita adalah orang merasa ingin bebas sebebas-bebasnya bersuara, tidak peduli, karena sangat jelas bedanya antara kritik dengan hinaan, ujaran kebencian, fitnah, kekasaran, dan seperti itu sangat jelas,” katanya.
Baca Juga: Din Syamsuddin Dituduh Radikalis, MUI: Spirit Islamophobia Sudah Muncul dan Berkembang di Indonesia
Deddy Sitorus menegaskan bahwa kritik, tak terkecuali kepada pemerintah, seharusnya disampaikan dengan argumen dan data yang jelas.
“Yang namanya kritik pasti dibungkus dengan argumen yang jelas, dengan data yang jelas, disampaikan dengan cara yang benar dan beradab,” ujarnya lagi.
“Apakah kita mau ruang publik yang dipenuhi sampah seperti itu? UU mengatakan tidak boleh,” ucap Deddy Sitorus.***