Terlebih usai pemakaian media sosial semakin marak di era sekarang ini, menurut Refly semakin banyak tokoh-tokoh yang menyuarakan pendapatnya melalui unggahan di akun media sosial.
Sementara itu, menyinggung soal adanya kekhawatiran akan dipanggil polisi jika menyampaikan kritik, Refly mengatakan bahwa ini karena penegak hukum terlalu mudah menindak orang-orang yang dianggap kritis pada pemerintahan.
“Padahal menurut saya, kalau masalahnya adalah penghinaan, itukan bisa direkonsiliasi harusnya. Kalau misalnya ada kelompok masyarakat tertentu merasa terhina, ya harusnya kelompok masyarakat tersebut melakukan gugatan. Tidak lantas ujug-ujug ke polisi untuk memenjarakan orang,” ujar dia memaparkan.
Namun, katanya, beda halnya jika yang dikritik adalah pemerintah atau kekuasaan. Ia mengatakan, pemerintah memang seharusnya menerima kritik dari rakyat tanpa ada rasa sakit hati kepada pihak yang mengkritik.
“Kekuasaan tersebut ya memang harus dikritik, karena ketika kita bicara tentang mengkritik presiden, mengkritik gubernur, bupati dan wali kota, yang kita kritik itu adalah benda mati. Jabatan-jabatan itu adalah benda mati yang seharusnya tidak punya hati kalau dikritik. Karena yang dikritik adalah kebijakan dari pejabat tersebut,” kata Refly Harun secara jelas.
Tak lupa ia juga mengingatkan bahwa penyampaian kritik harus memperhatikan penggunaan bahasa. Jangan sampai, lanjutnya, seolah menghina atau merendahkan pihak-pihak tertentu.
“Keras dan tegas kan boleh kata Pramono Anung, Sekretaris Kabinet, tapi merendahkan, menghina harusnya tidak,” ucap dia.