Pakar Minta Wacana Presiden 3 Periode Tak Ditanggapi Serius oleh Pemangku Kepentingan: Hanya Menyita Waktu

- 26 Maret 2021, 14:23 WIB
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johanes Tuba Helan.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Johanes Tuba Helan. /Bernadus Tokan/ANTARA

PR DEPOK – Pakar Hukum Tata Negara, Johanes Tuba Helan menyoroti wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.

Ia pun meminta wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode tidak perlu ditanggapi secara serius oleh para pemangku kepentingan.

Karena menurutnya, wacana tersebut merupakan hal yang tidak rasional.

Baca Juga: Semua Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab Memaksa Masuk Ruang Sidang, Petugas Batasi Sesuai Daftar Nama

Selain itu, Johanes juga menjelaskan bahwa semua elemen masyarakat tunduk pada aturan konstitusi.

“Memang hak orang menyampaikan pendapat terkait wacana ini, tetapi tidak perlu ditanggapi serius para pemangku kepentingan karena kita semua dari level masyarakat sampai ke para pejabat atau elite politik tunduk pada aturan konstitusi,” ucap Johanes seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara pada Jumat, 26 Maret 2021.

Aturan konstitusi itu, lanjut dia, dinilai sudah tepat dalam sebuah negara demokrasi karena kekuasaan yang tidak dibatasi selalu memiliki kecenderungan untuk korup.

Baca Juga: Sebut Rencana Impor Beras Khianati Usaha Petani, Mardani Ali Sera: Kemandirian Pangan Harus Jadi Program Utama

Ia menerangkan bahwa konstitusi negara sudah mengatur dengan jelas bahwa Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama lima tahun.

“Sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Artinya seorang Presiden atau Wakil Presiden hanya boleh menjabat paling banyak 2x5 tahun,” ujarnya.

Sehingga menurutnya, tidak perlu ada gagasan untuk menambah masa jabatan kepala negara, apalagi sampai menuai polemik di tengah masyarakat.

Pakar hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) itu mengungkapkan bahwa perubahan masa jabatan kepala negara bisa terjadi melalui amendemen UUD 1945.

Baca Juga: Vaksinasi Lansia di BBPK Jakarta Dibuka untuk Warga KTP DKI dan Non DKI, Berikut Syarat dan Ketentuannya

Akan tetapi, konstitusi tidak bisa diamendemen hanya secara khusus mengganti masa jabatan kepala negara.

“Usia amendemen konstitusi kita baru 19 tahun, lalu mau diamendemen lagi tentu itu tidak bagus, tidak memberikan kepastian hukum,” tutur Johanes.

Tidak hanya itu, jelas dia, apabila wacana ini digulirkan pihak tertentu dengan alasan kinerja kepala negara saat ini dinilai bagus, maka tidak tepat menjadi dasar untuk mengubah konstitusi.

“Kalau kinerja Presiden Joko Widodo saat ini dinilai bagus maka harus menjabat lagi, lalu bagaimana jika ada presiden-presiden selanjutnya korup, apakah konstitusi akan diamendemen lagi?” ujar dosen Fakultas Hukum Undana itu.

Baca Juga: Demokrat Kubu KLB Gelar Konferensi Pers di Tengah Hujan dan Petir, Cipta Panca: Alam Saja Gak Setuju

Johanes menuturkan bahwa konsitusi mengatur hal-hal prinsip atau pokok yang perubahannya tidak boleh dilakukan secara cepat.

Oleh sebab itu, Johanes meminta para pemangku kepentingan untuk tidak menanggapi serius wacana seperti ini.

“Karena hanya menyita waktu dan tenaga yang semestinya difokuskan untuk hal-hal lain yang lebih mendesak bagi kemajuan bangsa dan negara,” katanya.***

Editor: Adithya Nurcahyo

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah