Diketahui, sembako adalah obyek yang tidak dikenakan pajak, sebagaimana diatur Peraturan Menteri Keuangan 116/PMK.010/2017, yang berbunyi bahwa barang kebutuhan pokok itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Sementara itu, sebelumnya anggota DPR RI Mufti Anam juga mengkritisi persoalan ini karena akan memukul balik momentum pemulihan ekonomi yang kini perlahan mulai tertata.
"Ini kan ekonomi sedang punya momentum pemulihan, punya momentum untuk rebound. Tantangannya ada pada upaya menahan laju kenaikan kasus aktif Covid-19. Daya beli perlahan tumbuh. Kalau kebutuhan pokok dikenakan PPN, berarti pemulihan ekonomi dipukul mundur," katanya seperti diberitakan sebelumnya.
Terlebih pemerintah juga berniat mengerek besaran PPN menjadi 12 persen dari sebelumnya 10 persen.
"Sekarang daya beli belum pulih, tapi bisa langsung kena beban tambahan pajak. Ya spending masyarakat akan tertahan, padahal itu (belanja masyarakat) adalah kunci pemulihan dan jantung pertumbuhan ekonomi kita," tuturnya.
Mufti menyebut minimal ada dua dampak buruk bila rencana mengenakan PPN terhadap sembako itu terwujud. Pertama, meningkatkan inflasi.
Baca Juga: Soroti Rencana Pengenaan Pajak untuk Sembako, Irwan Fecho: Rakyat Sendiri Dikhianati
Dampak kedua, membuat upaya pengentasan kemiskinan semakin sulit dilakukan. Dia mengingatkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat miskin tersedot untuk kebutuhan pangan.
"Kan di data BPS itu, bahan makanan memberikan sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan, sekitar 73,8 persen dari total garis kemiskinan, per September 2020. Kontribusi bahan makanan terhadap garis kemiskinan terus naik lho, jika dibandingkan September 2019 ke September 2020 itu ada kenaikan 4 persen. Intinya, kalau harga pangan naik, maka angka kemiskinan akan naik. Ini harus dipikirkan betul oleh pemerintah," ujarnya.