Tidak sampai di situ saja, Kemen PPPA juga menjadi inisiator dalam penandatanganan pakta integritas di 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas rata-rata nasional, integrasi kebijakan PPA dalam kebijakan KLA, koordinasi stranas PPA, penyusunan roadmap PPA bersama K/L, penyusunan peraturan desa PPA, dan pelatihan pembekalan paralegal berbasis komunitas dalam PPA.
Agustina juga menerangkan bahwa pencegahan perkawinan anak harus dilakukan, sebab di tahun 2018 Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia.
Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun dari Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda pada tahun 2020 bahwa satu dari sembilan anak menikah di Indonesia.
Jika dilihat dari data milik Bappenas dan BPS, ada sejumlah 47,90 persen perempuan di rentang usia 20-24 tahun yang mengalami putus sekolah disebabkan harus menikah pada usia di bawah 18 tahun.
“Di Indonesia perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun diperkirakan mencapai 1.220.900. Dan ini mencatatkan Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia,” ujarnya.
Kemudian, Agustina juga mengatakan bahwa perkawinan anak memberikan efek serius dari segi kesehatan anak, termasuk di antaranya menaikkan risiko gangguan kesehatan secara mental, stunting, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), sampai kepada menaikkan risiko perceraian.***