Kontroversi di Indonesia soal Penunjukan Personel Militer Aktif ke Jabatan Sipil saat Selidik Suap Basarnas

- 2 Agustus 2023, 14:45 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan barang bukti dan pelaku dalam konferensi pers atas kasus terjaring operasi tangkap tangan terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan barang bukti dan pelaku dalam konferensi pers atas kasus terjaring operasi tangkap tangan terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas. /Antara/Indrianto Eko Suwarso

PR DEPOK - Dikabarkan bahwa para analis dan aktivis Indonesia telah mengkritik komisi antikorupsi negara tersebut setelah lembaga itu menyerahkan kasus berprofil tinggi yang melibatkan dua perwira militer senior kepada polisi militer angkatan bersenjata.

 

Langkah ini telah memicu kekhawatiran akan perlakuan yang ringan terhadap kedua tersangka karena sifat yang tidak transparan dari proses hukum di dalam angkatan bersenjata, dan juga memperkuat seruan bagi Presiden Joko Widodo untuk menghentikan penunjukan perwira militer aktif ke posisi non-militer.

Kontroversi ini berasal dari langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Rabu (26 Juli) yang menuntut Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Henri Alfiandi, atas dugaan keterlibatannya dalam kasus suap senilai 88 miliar rupiah (US$5,8 juta).

Dakwaan itu datang setelah komisi melakukan operasi tangkap tangan pada hari Selasa lalu di mana beberapa orang ditangkap, termasuk koordinator staf administrasi Basarnas, Afri Budi Cahyanto.

Baca Juga: 7 Sate Paling Lezat dan Enak di Pamekasan, Simak Referensinya

Baik Alfiandi maupun Cahyanto adalah anggota aktif Angkatan Udara Indonesia, yang pertama adalah seorang Marsekal Udara dengan pangkat setara dengan Letnan Jenderal, sementara Cahyanto adalah seorang Letnan Kolonel.

Tiga tersangka lainnya, menurut KPK, adalah kontraktor sipil yang telah diberi kontrak oleh Basarnas sejak tahun 2021 untuk memperoleh perangkat yang dapat mendeteksi dan menemukan korban yang terperangkap di bawah reruntuhan.

Keputusan KPK untuk menuntut Alfiandi dan Cahyanto mendapat kritik dari angkatan bersenjata yang bersikeras bahwa KPK telah melampaui yurisdiksinya dengan menuntut perwira militer aktif secara pidana.

Pada hari Jumat lalu, KPK setuju untuk menyerahkan kasus-kasus melawan Alfiandi dan Cahyanto kepada polisi militer sementara badan antikorupsi akan fokus pada tiga kontraktor sipil yang dicurigai memberi uang suap kepada keduanya.

Baca Juga: BLT PIP Kemdikbud Agustus 2023, Ini 6 Kategori Siswa yang Terancam Hangus Pencairan Dananya

KPK juga meminta maaf kepada militer karena menuduh dua perwira itu melakukan korupsi.

"Kami mengerti bahwa penyelidik kami mungkin telah salah dan lupa bahwa setiap kali melibatkan seorang perwira militer, kasusnya harus diserahkan kepada militer. Kita seharusnya bukan yang menanganinya, bukan KPK," kata wakil ketua lembaga antikorupsi, Johanis Tanak, kepada para wartawan dikutip PikiranRakyat-Depok.com dari Channel News Asia, pada hari Jumat lalu.

Langkah KPK tersebut segera mendapat kritik dari aktivis dan ahli.

"KPK telah menghancurkan kredibilitasnya sendiri dengan meminta maaf. Langkah itu tidak perlu dan tidak tepat. Mereka memiliki hak dan seharusnya mengejar kasus ini untuk diadili di pengadilan anti-korupsi (sipil)," kata Bapak Al Araf, ketua kelompok penelitian keamanan dan hak asasi manusia Centra Initiative, kepada CNA.

Baca Juga: 7 Mie Ayam Terfavorit dan Terkenal Enak di Pamekasan, Simak Rekomendasinya

Sementara itu, langkah tersebut juga telah menciptakan perpecahan di dalam KPK dengan para penyelidik dan staf mengkritik keputusan atasan mereka untuk menyerahkan Alfiandi dan Cahyanto. Media lokal melaporkan bahwa langkah itu bahkan telah menyebabkan salah satu penyidik senior KPK mengajukan pengunduran diri.

Beberapa LSM menyerukan penghentian praktik penunjukan perwira militer aktif ke posisi non-militer.

"Pemerintah harus mengevaluasi keberadaan perwira militer aktif di sejumlah institusi sipil... karena itu hanya akan menciptakan kontroversi hukum setiap kali terjadi kejahatan yang melibatkan anggota militer aktif ini," kata Bapak Gufron Mabruri, direktur kelompok advokasi hak asasi manusia Imparsial, kepada CNA.***

Editor: Tesya Imanisa

Sumber: Channel News Asia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah