Bukan Kaum Buruh, Pengamat Sebut UU Cipta Kerja Hanya Untungkan 2 Pihak Ini

- 8 Oktober 2020, 22:49 WIB
 Pengamat Politik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie.*
Pengamat Politik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie.* /Antara./

PR DEPOK - Sejak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU, tak sedikit pihak memberikan tanggapannya.

Kali ini tanggapan datang dari Pengamat Politik dari Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara, Jerry menyebutkan UU Cipta Kerja hanya menguntungkan investor dan pekerja asing, sehingga kaum buruh melakukan aksi penolakan di sejumlah daerah.

Baca Juga: Kata Fahri Hamzah Soal Iklan Penjualan Gedung DPR: Bentuk Sinisme Warga Atas Ketidakpuasan Mereka

"Memang UU ini agak kontroversi. Paling diuntungkan justru investor dan pekerja asing. Omnibus Law soal Ketenagakerjaan memudahkan izin kerja tenaga asing," ujar Jerry, di Jakarta.

Hal tersebut, kata dia, tertuang dalam Pasal 42 ayat 1, di mana tenaga asing hanya perlu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk bekerja di Indonesia, tanpa Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) seperti diatur di beleid sebelumnya.

Selanjutnya, mengenai status kontrak kerja, Jerry mengatakan perusahaan bisa membuat karyawannya sebagai pekerja kontrak seumur hidup sebagaimana tertuang dalam Pasal 61A.

Aturan tentang perjanjian ini dinilai akan merugikan pekerja lantaran relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.

Baca Juga: Dilaporkan Berkat Andil Jokowi dan UU Cipta Kerja, Nilai Tukar Rupiah Hari Ini Berani Unjuk Gigi

UU Cipta Kerja juga, dikatakan Jerry, menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja.

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 79 Ayat (2) poin b UU menyebutkan, istirahat mingguan hanya satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selanjutnya, Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaringan pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Tak sedikit pihak yang khawatir akan poin ini, pemerintah tengah berupaya menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), termasuk upah minimum sektoral.

Baca Juga: Diduga Terima Bayaran, Puluhan Remaja Asal Depok Ditangkap Aparat Saat Gelar Aksi Tolak Omnibus Law

"Jika merujuk UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja tidak bisa menerima upah di bawah standar minimum," katanya.

Dengan demikian, pihak yang paling merasa dirugikan atas UU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini tentunya adalah kaum buruh.

"Ini akan berdampak buruk dalam pemerintahan saat ini. Paling tidak pasal-pasal yang tak sesuai dan merugikan jangan dimasukan. Justru UU ini jauh dari harapan buruh," ucap dia.

Lebih lanjut, Jerry pun menyinggung soal demonstrasi dan pandemi Covid-19.

Baca Juga: Klaim UU Cipta Kerja Tak Memihak Rakyat Kecil, Ketua PBNU: yang Miskin Semakin Miskin

"Kalau tidak dihentikan, demo akan berlanjut dan Covid-19 bisa bertambah," katanya.

Ia menyarankan agar pasal-pasal kontroversi untuk ditinjau lagi, baik melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun melalui langkah lainnya.

"Dalam hal ini bisa political interest (kepentingan politik) yang lebih lebih diuntungkan," ujar dia mengakhiri.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: Permenpan RB


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah