Disebut Ada Gejala Diktatorship di Rezim Jokowi, Refly: Jika Din Syamsuddin Ditangkap, Benar Adanya

- 25 Oktober 2020, 11:31 WIB
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun /Tangkapan layar YouTube Refly Harun./

PR DEPOK - Sebelumnya Ketum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsuddin melontarkan komentarnya perihal kondisi negara Indondesia saat ini.

Disebutkan Din Syamsuddin, saat ini bahwa ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional.

"Saat ini ada gejala Indonesia menjadi negara diktator konstitusional. Indikasi negara diktator konstitusional adalah sikap kukuh pemerintah terhadap masukan masyarakat atas kebijakannya," katanya.

Baca Juga: Jelang Pilpres AS 2020, Komunitas Yahudi Ortodoks di Brooklyn Siap Gelar Unjuk Rasa Pro-Donald Trump

Adapun tolak ukur negara diktator menurut dia adalah sikap kukuh pemerintah terhadap masukan maupun kritikan dari masyarakat atas suatu kebijakan.

Hal tersebut terlihat dalam desakan ditundanya pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba), penolakan revisi UU KPK, dan terbaru penolakan UU Cipta Kerja.

Terkait ucapan Din Syamsuddin tersebut, ahli hukum tata negara Refly Harun turut memberikan komentar melalui satu unggahn video di kanal YouTube pribadi.

Sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com, Refly Harun mengatakan pernyataan Din Syamsuddin yang ngeri-ngeri sedap bahwa Indonesia akan menjadi Pemerintahan yang dikatator.

Baca Juga: Buruh Bangunan Ditetapkan sebagai Tersangka, DPR: Kebakaran Kejagung Jadi Pelajaran untuk Taati SOP

"Diktator konvensional atau diktatorship, ini terjadi ketika orang menilai masa pemerintahan bung Karno pada era orde lama dari tahun 1966 dan dengan pemerintah orde baru dari tahun 66 sampai kemudian 98 perbedaannya adalah dari sumber legitimasi." katanya.

Keduanya pemerintahan yang otoriter, itu sudah menjadi pendapat umum para ilmuwan baik politik hukum tata negara bahwa baik orde lama maupun orde baru itu adalha otoriter.

Akan tetapi, dikatakan dia, yang membedakan Bung Karno tida memerlukan legitimasi konstitusi untuk bertindak.

"Dia (Bung Karno) mengatasi konstitusi itu sendiri sebagai contoh misalnya ketika dia menjadikan pidatonya sebagai GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara)," ucap Refly Harun.

Baca Juga: Refly Harun Prediksi Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo Akan Jadi Pasangan di Pilpres 2024 Mendatang

Lebih lanjut ia menambahkan, "Pidatonya yang bertajuk manipol usdek manifesto politik, undang-undang dasar sosialisme dan demokrasi ekonomi itu menjadi garis-garis besar hal yang haluan negara atau Guideline."

Konstitusi mengatakan yang berhak menetapkan itu adalah MPR, namun pada masa pemerintahan Soeharto, dirinya menjalankan formalisme konstitusi. Walaupun semua orang mengetahui bahwa GBHN itu dibuat oleh pemerintah.

"Bahwa GBHN itu disiapkan pemerintah disorongkan ke MPR melalui terutama fraksi Golkar dan fraksi ABRI yang merupakan kaki dari pak Harto lalu secara aklamasi akan disetujui."

"Jadi formalisme saja itu yang disebut konstitusional diktatorship, jadi konstitusional diktatorship itu adalah prosedur-prosedur sumber konstitusi itu dipakai tapi hanya prosedurnya saja substansinya tidak."

Baca Juga: Berakhir Mengharukan, Tangis Khabib Nurmagomedov Pecah Usai Juarai UFC 254 hingga Umumkan Pensiun

"Padahal kan kita bicara substansi seharusnya ruang perdebatan itu ada di wakil-wakil rakyat di MPR baik dari unsur DPD maupun unsur DPR," ujarnya.

Apabila dulu unsurnya bukan DPD tapi utusan golongan dan utusan daerah, wataknya sama tetapi prosedurnya berbeda.

"Sekarang ketika masa pemerintahan presiden Jokowi dianggap ada kecenderungan pada diktator konstitusional atau konstitusional diktatorship."

"Saya tidak membantah ada kecenderungan itu yang paling nyata adalah penggunaan secara masif undang-undang ite undang-undang tentang internet dan transaksi elektronik yaitu undang-undang yang betul-betul sapu jagat untuk membungkam sikap kritis siapa pun," katanya.

Baca Juga: Puntung Rokok Jadi Sebab Kebakaran Kejagung, Bamsoet: Jangan Diabaikan, dari Kecil Jadi Kobaran Api

Hal itu dikatakan dia, sering digunakan negara tapi sering digunakan kelompok-kelompok situs society yang tidak mau kritik.

"Jadi baik unsur negara maupun unsur civil society menggunakan undang-undang ite itu untuk menghantam untuk memenjarakan siapapun yang tidak sepakat dengan pemerintahan misalnya atau siapapun yang dianggap melakukan penghinaan dianggap melakukan provokasi perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan dan lain sebagainya," kata dia.

Dengan demikian, UU itu sebenarnya banyak memakan korban tapi sayangnya MK (Mahkamah Konstitusi) hingga saat ini tidak mau hapuskan atau membatalkan UU itu.

"Tertawa keberadaan pasal 27 yang paling berbahaya subjektifnya tinggi sekali jadi liat ini di luar sudah."

Baca Juga: Joko Widodo Diminta Copot Menteri Manuver untuk Pilpres 2024, PDIP: Hati-hati Kudeta Merangkak!

Ia pun berharap bahwa Indonesia tidak terjerumus ke dalam lubang diktatorship tersebut.

"Dan satu hal kalau gara-gara mengatakan bahwa pemerintah sekarang ada kecenderungan konstitusional diktatorship atau diktator konstitusional lalu ada konsekuensi hukum kepada profesor Din Syamsuddin, misalnya katakan ditangkap juga ini justru membuktikan bahwa memang benar-benar ada diktatorship itu."

"Kita tentunya tidak menginginkan negara kita menjadi negara yang otoritarian kembali pemimpin yang menjadi diktator kembali karena membangun demokrasi ini tidak mudah penuh dengan darah dan air mata dan juga korban nyawa dari syuhada syuhada reformasi tahun 98," ujar Refly Harun.

Siapapun yang menikmati kepemimpinan hari ini yang duduk di kepemimpinan baik para pemimpin yang memimpin para pendukungnya, kata dia, harus mengingat ini baik-baik jangan sampai negara ini regresif kembali.

Baca Juga: Gegara Game Online, Seorang Hafiz Quran Meninggal Dunia Usai Dibunuh Teman Sekolahnya Sendiri

"Tidak enak mengalami era seperti orde baru apalagi orde lama. Padahal saya belum lahir, tapi orde baru sangat merasakan bagaiamana kebebasan sangat dibuka bagaimana kita tidak bisa bersuara bebas."

"Jadi kalau sekarang dikatakan kita tidak sama dengan masa pemerintahan Pak Harto, kita tidak pengen sama karena kalau kita menjadi sama maka negara kita adalah negara yang gelap, negara yang otoriter, negara yang tidak lagi menghargai perbedaan pendapat," katanya.

Tapi, ujarnya, jangan lupa hal itu menjadi satu aspek kebebasan sipil, aspek politik, aspek kebebasan berpendapat menyatakan pikiran baik secara lisan maupun tulisan.

"Tapi aspek lain juga harus diselesaikan misalnya ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan lain sebagainya," ujar dia.

Baca Juga: Jawa Barat Kembali Waspada Adanya Potensi Hujan Disertai Kilat dan Angin Kencang di Sejumlah Daerah

Menurut Refly Harun kalau kita bandingkan antara satu dengan yang lainnya bisa jadi lebih baik dari satu segi pada era orde baru dibandingkan era reformasi saat ini lebih baik era kepemimpinan SBY dibanding era kepemimpinan Joko Widodo.

"Misalnya lebih baik era kepemimpinan pak Harto dibandingkan era kepemimpinan Jokowi atau SBY. Tapi kita harus lihat dulu aspeknya. Tapi kalau kita bicara aspek kebebasan sipil ya jangan kita tiru orde lama dan orde baru tersebut, yang membungkam sipil menjadikan kita negara diktator."

"Mungkin satu diktator konstitusional karena pada zaman pemerintahan Pak Harto selalu menyandarkan pada Pancasila dan UUD 1945 untuk memukul siapapun yang berbeda pendapat," ucap Refly Harun.

Kemudian dirinya berharap, "Saya tidak ingin masa itu terulang kembali pada era saat ini terutama era pemerintahan Jokowi dan jangan sampai presiden Jokowi justru meninggalkan warisan sebagai pemimpin yang menggerakkan kembali Ilham otoritarianisme di negara ini."

***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: YouTube


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x