Banyak Perempuan Dilecehkan di Media Sosial, Plan International: Kesehatan Mental Korban Terganggu

- 5 Oktober 2020, 14:26 WIB
Ilustrasi media sosial.*
Ilustrasi media sosial.* /Pixabay./

PR DEPOK - Sebuah survei mengungkapkan fakta yang mengejutkan terkait meningkatnya kekerasan daring terhadap anak perempuan, dan perempuan di lebih dari 20 negara.

Survei tersebut menyatakan bahwa beberapa responden terpapar pesan eksplisit, foto porno, cyberstalking, dan bentuk lain dari penyalahgunaan internet.

Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari The Guardian, menurut survei Plan Internasional diketahui serangan tersebut paling umum terjadi di Facebook, diikuti oleh Instagram, dan WhatsApp.

Baca Juga: Hari Guru Sedunia, Berikut 10 Nasehat Imam Ghazali Soal Adab Murid kepada Seorang Guru

Lebih lanjut menurut Badan amal yang berfokus pada kesetaraan untuk anak perempuan tersebut bahwa pihaknya telah melakukan survei terhadap 14.071 anak perempuan, dan perempuan muda berusia 15-25 tahun di 22 negara, antara lain Australia, Kanada, Brasil, Benin, Jepang, Zambia, dan AS pada medio 1 April 2020 hingga 5 Mei 2020.

Diketahui dalam jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa di negara Australia, 65 persen dari 1.000 responden telah terpapar spektrum kekerasan daring, dibandingkan dengan angka global sebesar 58 persen.

Sebagian dari mereka yang pernah mengalami pelecehan di Australia menderita tekanan mental, dan emosional akibat dari hal tersebut.

Lebih lanjut, satu dari lima anak perempuan dan perempuan muda Australia mengkhawatirkan keamanan fisik mereka karena ancaman yang dilakukan secara daring.

Baca Juga: Deteksi Dini Bisa Kurangi Risiko Penyakit Jantung, Dokter Sarankan Check Up Mulai Usia 30 Tahun

Dari semua anak perempuan dan perempuan muda yang disurvei, jenis kekerasan daring yang paling umum adalah bahasa kasar dan menghina, hal tersebut dilaporkan oleh 59 persen responden, diikuti oleh rasa malu yang disengaja yakni sebesar 41 persen, serta penghinaan pada tubuh, dan ancaman kekerasan seksual yakni 39 persen.

Secara global, dilaporkan bahwa serangan paling umum terjadi di Facebook, di mana 39 peresen responden telah mengalami pelecehan, diikuti oleh Instagram dengan nilai 23 persen, WhatsApp sebesar 14 persen, Snapchat 10 persen, Twitter 9 persen, dan TikTok 6 persen.

Untuk diketahui satu dari lima orang responden yakni 19 persen responden yang pernah menjadi korban kekerasan daring mengungkapkan telah mengurangi penggunaan media sosial mereka secara signifikan.

Sementara itu satu dari 10 orang responden yakni 12 persen responden telah mengubah cara mereka mengekspresikan diri secara daring.

Baca Juga: Sanggah Penolakan RUU Cipta Kerja, DPR: Undang-Undang Ini Akan Bawa Perubahan Positif

Selain itu 44 persen dari seluruh responden yang disurvei mengimbau agar perusahaan media sosial perlu berbuat lebih banyak untuk melindungi mereka.

Diketahui, satu dari lima orang responden atau 22 persen dari mereka yang disurvei mengatakan bahwa mereka, atau seorang teman telah ditinggalkan mengkhawatirkan keamanan fisik mereka karena bahaya online.

Sementara 39 persen melaporkan harga diri yang rendah, dan 38 persen mengatakan pelecehan tersebut menyebabkan tekanan mental dan emosional, serta pelecehan menyebabkan masalah di sekolah untuk 18 persen responden.

Dalam responden tersebut juga diketahui sebanyak 40 persen responden mengatakan pelaku yang melakukan kekerasan daring tersebut dari orang-orang di sekolah atau tempat kerja, 29 persen mengatakan teman, dan 16 persen responden responden mengatakan mantan pasangannya.

Baca Juga: Polisi Tak Beri Izin Para Buruh Gelar Demonstrasi Tolak RUU Cipta Kerja, PMJ: Situasi Sedang Pandemi

Sedangkan, sebanyak 38 persen mengatakan mereka telah dilecehkan oleh pengguna media sosial anonim.

Untuk anak perempuan yang diidentifikasi sebagai Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/transsexual, Intersexual, Queer (LGBTIQ) + daring, hampir setengahnya mengatakan bahwa mereka mengalami pelecehan karena identitas seksual atau gender mereka, dan 60 persen anak perempuan yang diidentifikasi sebagai etnis minoritas mengatakan bahwa mereka telah menjadi sasaran khusus karena hal ini.

Sementara itu Kepala eksekutif Plan International, Susanne Legena, mengatakan bahwa kekerasan telah berkembang, serta pelecehan adalah kenyataan sehari-hari.

“Kekerasan telah berkembang ke titik di mana bagi banyak gadis, pelecehan adalah kenyataan sehari-hari,” kata Susanne Legena.

Baca Juga: Disarankan Ahli untuk Tekan Penularan Covid-19, Lakukan Hal ini Saat Seseorang Bersin di Dekat Anda

Ia pun menilai bahwa tidak ada ruang virtual atau lainnya, tempat dimana anak perempuan, dan perempuan muda aman dari kekerasan.

“Jika Anda menganggap jumlah gadis yang sangat tinggi di seluruh dunia menjadi sasaran pelecehan setiap kali mereka berpartisipasi dalam diskusi online, selain diganggu dan dilecehkan di jalan ketika mereka melangkah keluar rumah, dan bahwa pelecehan adalah bentuk kekerasan, ada tidak ada ruang virtual atau lainnya, tempat anak perempuan aman dan bebas dari kekerasan," ucapnya.

Dikabarkan dampak karena kekerasan daring tersebut anak perempuan melaporkan bahwa dirinya mengalami masalah kesehatan mental jangk panjang.

"Akibatnya, anak perempuan melaporkan masalah kesehatan mental jangka panjang dan dalam banyak kasus, memilih untuk tidak mengekspresikan diri dan pendapat mereka karena takut akan pembalasan, dan terkadang menghapus diri mereka dari platform ini sama sekali," katanya.

Baca Juga: RUU Ciptaker Dibawa ke Paripurna Dinilai Terburu-buru, YMB: Pemerintah dan DPR Sesat dalam Berpikir!

Sementara itu, dalam kata pengantar untuk laporannya bertajuk Bebas untuk online?, Direktur eksekutif Organisasi Ketahanan lembaga kesetaraan gender Sudan Selatan, Kevin Abalo mengatakan bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan seseorang untuk melindungi diri mereka sendiri.

“Kita semua harus berkampanye untuk perubahan, memaksa pemerintah dan perusahaan teknologi untuk memberlakukan perlindungan,” tulisnya.

Selain itu Caitlin McGrane, seorang pemimpin proyek peningkatan keamanan daring untuk wanita di Gender Equity Victoria, mengatakan bahwa penelitianng dilakukan tersebut menjadi penting, membawa fokus yang sangat dibutuhkan pada tingkat, dan dampak pelecehan daring pada wanita muda di seluruh dunia.

Ia pun menilai bahwa media sosial tidak pernah dirancang sebagai tempat yang aman bagi wanita dan anak perempuan, misalnya pendiri platform media sosial Facebook, Mark Zuckerberg, membuat laman dari bagian belakang situs web yang ia buat bernama "FaceMash" yang memungkinkan mahasiswa untuk mengunggah foto wanita di kampus dan menentukan peringkat daya tarik mereka.

Baca Juga: RUU Ciptaker Dibawa ke Paripurna, GEBRAK Siap Gelar Aksi Demonstrasi Masif Selama 3 Hari

Lebih lanjut ia katakan bahwa kekerasan daring merupakan kekerasan bagi kaum muda dengan latar belakang yang terpinggirkan.

“Online merupakan kekerasan bagi kaum muda dari latar belakang atau identitas yang terpinggirkan,” ucapnya.

Selain itu ia mengatakan bahwa platform media sosial perlu mendengarkan suara para perempuan yang mengalami pelecehan.

“Platform online seperti Facebook dan Instagram perlu mendengarkan wanita muda yang mengalami pelecehan dan mengambil lebih banyak tindakan ketika dilaporkan. Tindakan ini perlu termasuk menghapus postingan, komentar, dan pesan yang melecehkan dan menghapus pelanggar dari platform," katanya.

Baca Juga: Muncul Perpres Baru Soal Posisi Wakil Menteri untuk Kemenaker dan KUKM, Kandidat Masih Tanda Tanya

Dalam kesempatan yang sama ia menilai bahwa pentingnya melajukan pensekatan preventif terhadap kekerasan daring.

“Penting juga bagi kami untuk mengambil pendekatan preventif terhadap pelecehan online dengan mengajari kaum muda, terutama pria muda, tentang komunikasi yang sopan dan tepat.” tutur Caitlin McGrane.***

Editor: Ramadhan Dwi Waluya

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah