Enggan Jadi Capres di Pilpres 2024, Amien Rais: Undang-Undang tentang Pemilu Sudah Tak Relevan

13 Januari 2022, 15:15 WIB
Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais. /Genta Tenri Mawangi/Antara

PR DEPOK – Ketua Majelis Suro Partai Ummat Amien Rais baru-baru ini mengungkapkan rencananya terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.

Amien Rais menyatakan tidak ingin maju dalam Pemilihan Presiden 2024.

Kepada wartawan, Amien Rais mengaku tidak tertarik untuk ikut serta sebagai Calon Presiden (Capres) di Pilpres 2024.

Baca Juga: Manfaat dan Bahaya NFT yang Harus Diketahui serta Alasan Meningkatnya Jumlah Pengguna

"Oh nggak, nggak saya nggak mau," kata Amien di Bengkulu pada Kamis, 13 Januari 2022 seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.

Dalam kesempatan yang sama, Amien Rais juga mengkritisi peraturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

Amien Rais menilai bahwa peraturan ambang batas presidential threshold telah membelenggu dan justru memunculkan oligarki.

Baca Juga: Senyap, Isco Dilaporkan Capai Kesepakatan Gabung Barcelona dari Real Madrid

Maka dari itu, pihaknya menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi.

Pihaknya menilai Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah tidak relevan.

"Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah tidak relevan untuk diterapkan saat ini," ujarnya.

Baca Juga: Ardhito Pramono Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Penyalahgunaan Narkoba, Ancaman Pidana 4 Tahun Penjara

Tidak hanya itu, menurut Amien Rais, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen menghilangkan hak konstitusional.

Jadi pengusulan calon presiden mendiskriminasi partai politik kecil yang tidak memiliki kedudukan sebesar 20 persen.

Sebaliknya, Amien Rais menganjurkan agar presidential threshold nol persen.'

Baca Juga: Tolak Hukuman Mati untuk Herry Wirawan, Komnas HAM Sebut Indonesia akan Jadi Sorotan Dunia

Hal ini menurut Amien Rais dapat menjadi alternatif sehingga memunculkan calon presiden baru dan tidak membelenggu calon dalam parpol besar dan menghindari oligarki.

Sementara itu, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur bahwa calon peserta pemilihan presiden harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional di pemilihan DPR sebelumnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai ambang batas presidential threshold sebesar 20 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi instrumen pelembagaan partai politik.

Baca Juga: KPK Lakukan OTT terhadap Bupati Daerah Calon Ibu Kota Negara Baru, Musni Umar: Prihatin Sekali

Maka dari itu, wacana penurunan ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan.

"Wacana menurunkan presidential threshold menjadi 5-10 persen bahkan 0 persen tidak perlu diteruskan. Presidential threshold justru menjadi instrumen untuk semua parpol untuk melakukan pelembagaan atau institusionalisasi partai politik," kata Rifqi.

Ia menyebutkan salah satu unsur pelembagaan partai adalah kemampuan parpol untuk meraih suara yang sebesar-besarnya, hasil dari kemampuan bekerja menyalurkan aspirasi rakyat.

Baca Juga: Beli Salah Satu NFT Foto Selfie dari Ghozali Seharga Rp18 Juta, Reza Arap: Dia Jenius

"Oleh karena itu, persentase presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR RI dan 25 persen suara nasional yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus dimaknai sebagai bagian memperkuat kelembagaan parpol itu sendiri," ujarnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler