Maka dari itu, jika pelanggaran protokol kesehatan itu dikualifikasikan dalam pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan yang ancaman hukumannya itu hanya satu tahun (pasal 93) maka belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana berat lainnya sebagaimana disebut dalam sebab pertama.
“Tapi apakah akan masuk dalam klausul perbuatan tercela yang dalam UU disebutkan misalnya judi, zina, mabuk. Tapi itu bukan sebuah garis yang sifatnya limitatif, itu adalah contoh dan itu bisa berkembang. Hanya masalahnya adalah pelaporannya bukan ke polisi, melainkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” ujarnya.
Baca Juga: Laporan Dugaan Pelanggaran Prokes di NTT Ditolak, Refly Harun: Jokowi Harus Komitmen Soal Aturan
Ia menuturkan bahwa jika laporan ini dialamatkan ke DPR dan DPR ingin memproses laporan ini maka bisa menggunakan hak-haknya.
Hak tersebut termasuk hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat.
“Jadi kita tidak bisa mengadukan presiden ke polisi harusnya kita mengadukannya kepada DPR dan DPR yang memproses itu,” kata Refly Harun.
Tentu masyarakat akan mempertanyakan equality before the law seperti yang tercantum dalam konstitusi merulakan asas umum yang berlaku bagi semua warga negara.
Tetapi konstitusi UUD 1945 memberikan pengecualian yang lazim, yakni untuk seorang presiden.
“Persoalan terbesarnya bukan pada pelanggaran Presiden Jokowi tapi bagaimana penanganan Habib Rizieq. Kalau memang nurani para anggota DPR merasa terusik dengan tindakan Jokowi yang berkali-kali, mereka harus memahami tidak ada institusi lain yang bisa mempersoalkan presiden kecuali DPR,” ujarnya.