Menurut Sekjen PBNU itu, meskipun Indonesia bukan negara agama, tetapi masyarakatnya hidup beragama, sehingga perlu adanya pertimbangan tentang dampak buruk yang akan terjadi jika miras dilegalkan.
“Indonesia memang bukan negara agama, tetapi negara yang masyarakatnya beragama. Jadi soal investasi minuman keras ini perlu dipertimbangkan kemudaratannya,” tuturnya.
Ia menuturkan, jika memang pemerintah mempertimbangkan kearifan lokal dalam menerbitkan Perpres ini, seharusnya investasi ini dialihkan pada produk-produk yang tidak mengandung alkohol.
“Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kebaikan). Investasi adalah hal baik. Namun jika investasi itu mengandung unsur mudarat yang lebih membahayakan, maka tentu hal ini dilarang syariat,” ucap Helmy.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menegaskan bahwa miras adalah minuman yang diharamkan dalam islam, baik untuk dikonsumsi, diproduksi, ataupun diedarkan.
“Mudaratnya besar. Oleh karena itu kami menyesalkan dan sangat tidak setuju kepada pemerintah membuka izin untuk industri minol ini dengan skala besar walaupun hanya di empat provinsi apapun alasannya,” ujar Dadang dalam keterangannya.
Ia menilai, dampak buruk yang dapat timbul dari diizinkannya produksi dan investasi miras ini dapat terasa di seluruh Indonesia.
Bahkan, lanjutnya, izin investasi miras ini juga dapat mempengaruhi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.