PR DEPOK - Gelombang penolakan dari sejumlah elemen masyarakat terus berdatangan sejak disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU.
Tak sedikit masyarakat menilai UU Cipta Kerja lebih memberikan keuntungan kepada pihak penguasa ketimbang para kaum buruh dan pekerja.
Berangkat dari hal tersebut, ribuan massa turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja yang dilakukan DPR RI, Senin 5 Oktober 2020.
Baca Juga: Kabar Baik, Vaksin Covid-19 dari Tiongkok Akan Tiba di Indonesia Bulan November 2020
Kendati mendapatkan penolakan dari elemen masyarakat, namun Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) yakni Prof Dr Tadjuddin Noer Effendi memiliki pendapat berbeda.
Dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara, Senin 12 Oktober 2020, Tadjuddin mengatakan gagasan awal penyusunan UU Cipta Kerja justru ditujukan untuk menangkal gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berpotensi muncul menghadapi revolusi industri 4.0.
"Saat itu dikhawatirkan terjadi gelombang PHK karena banyak tenaga kerja kita belum punya literasi teknologi informasi (IT) dan digital," ucap dia di Yogyakarta.
Lebih lanjut, ia mengaku telah terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja sejak 2018 mengatakan bahwa respons terhadap gelombang PHK memang diperlukan karena memasuki revolusi industri 4.0 berbagai pekerjaan di perusahaan bisa tergantikan dengan teknologi.
Baca Juga: Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja Berakhir Ricuh, Ketua PBNU: Haram Hukumnya Melakukan Kerusakan