Frustasi Akibat Lockdown Ketat yang Tak Kunjung Usai, Penduduk Shanghai Lontarkan Kritikan di Media Sosial

- 1 Mei 2022, 11:00 WIB
ILUSTRASI lockdown - Penduduk Shanghai ramai-ramai mengeluarkan kritikan untuk pihak berwenang karena penerapan lockdown ketat yang tak kunjung usai.
ILUSTRASI lockdown - Penduduk Shanghai ramai-ramai mengeluarkan kritikan untuk pihak berwenang karena penerapan lockdown ketat yang tak kunjung usai. /REUTERS/Aly Song.

PR DEPOK – China terus menerapkan lockdown ketatnya di kota Shanghai, akibat wabah Covid-19 yang disebabkan varian Omicron melanda kota itu.

Lockdown tersebut menyebabkan jutaan penduduk Shanghai terpaksa harus dikurung di rumah mereka.

Lockdown ketat yang diberlakukan China di Shanghai itu mirip dengan Wuhan pada 2020, ketika Covid-19 pertama kali terdetksi.

China memberlakukan lockdown ketat untuk menerapkan apa yang disebut sebagai strategi nol-Covid mereka.

Baca Juga: Cara Daftar DTKS Online Lewat Aplikasi Cek Bansos, Hanya Perlu KTP dan KK agar Terdata

Kini, mirip seperti orang-orang di Wuhan yang menyerukan kemarahan dan kekecewaan serta tanggapan keras pihak berwenang di media sosial, penduduk di Shanghai melakukan hal yang sama, seperti dilansir PikiranRakyat-Depok.com dari Al Jazeera.

Mereka mempertanyakan kebijakan yang telah mengganggu pasokan makanan, keluarga yang terpisah, dan sumber daya medis yang terganggu.

Berbeda dengan sebagian besar dunia yang mencoba hidup dengan virus, orang-orang di Shanghai menggunakan jurnal, video, audio, catatan WeChat, dan posting Weibo untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka dan bertanya apakah lockdown tanpa akhir itu masuk akal.

Tetapi China, negara di mana wacana publik dan media sosial dikontrol secara ketat, pemerintah segera mengontrol aliran informasi.

Baca Juga: Apakah BSU 2022 akan Cair? Ini Jawaban Kemnaker Soal Kepastian Penyaluran BLT Subsidi Gaji Rp1 Juta

Sebagian besar informasi yang dihapus oleh sensor berbicara tentang keputusasaan yang menyelimuti Shanghai, termasuk banyak permintaan bantuan dari warga.

Keluhan juga termasuk pasien dialisis yang memohon untuk dirawat di rumah sakit, keluarga kehabisan makanan, dan pasien kanker yang kembali dari kemoterapi namun ditolak masuk ke apartemennya karena terkunci.

Satu postingan, yang segera dihapus, memberikan gambaran sekilas tentang bahaya yang dihadapi oleh orang-orang dengan penyakit lain yang meninggal karena tes Covid-19 mereka tidak negatif, dan mereka ditolak masuk rumah sakit.

Rasa putus asa dan kemarahan merajalela ketika Lembaga sensor negara itu menghapus posting yang mereka khawatirkan merupakan ancaman bagi stabilitas oleh Partai Komunis yang berkuasa.

Baca Juga: Putin Serang Kyiv Saat Kunjungan Sekjen PBB, Pakar Politik: Sinyal Rusia untuk Lanjutkan Perang

“Tujuan utama penyensoran PKC adalah untuk mencegah aksi kolektif skala besar,” kata Zachary Steinert-Threlkeld, seorang profesor di University of California-Los Angeles (UCLA) yang mempelajari gerakan protes dan sensor online.

“Sensor itu kontraproduktif jika orang berpikir tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran ketidakpuasan tentang lockdown, tetapi produktif jika mencegah individu yang marah mengoordinasikan tindakan di luar rumah mereka,” tandasnya.

Dalam upaya untuk mengecoh pihak berwenang, beberapa mencoba memposting ulang artikel atau komentar yang dihapus menggunakan metode yang berbeda.

Metode tersebut seperti mengunggah gambar cermin dari foto asli atau menerjemahkan artikel ke dalam bahasa Inggris untuk berbagi pesan di media sosial.

Baca Juga: Rusia Tambah Jumlah Pasukan di Donbas, Kementerian Pertahanan Ukraina Beri Tanda Peringatan

Namun para ahli mengatakan masuk akal bagi pemerintah China, yang bertujuan untuk mencegah munculnya segala jenis gerakan massa yang berpotensi mengancam kekuasaannya.

“Ini telah terjadi berkali-kali sebelumnya: ada kegemparan publik dan sensor bergerak untuk mencoba menghapus kritik, dan kemudian orang-orang marah tentang sensor,” kata Wang Yaqiu, peneliti senior China di Human Rights Watch.

“Tetapi jika Anda melihat sejarah, tidak ada kegemparan publik yang berubah menjadi protes substantif. Untuk saat ini orang-orang marah, tetapi kemudian seiring waktu, ketika sensor menjadi lebih ketat, pemerintah kemudian dapat meredam keributan itu,” tambahnya.

Dipicu oleh rasa frustrasi mereka pada kegagalan nyata otoritas kota dalam menjaga pasokan makanan dan komitmen pemerintah untuk strategi nol-Covid, penduduk Shanghai menjadi sangat terbuka.***

Editor: Linda Agnesia

Sumber: Al Jazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x