Jokowi Dinilai Keliru Sebut Tak Butuh Oposisi, Refly Harun: Demokrasi Tidak Jalan Kalau Hanya Satu Arus Saja

23 Februari 2021, 10:05 WIB
Refly Harun. /Instagram @reflyharun

PR DEPOK – Pengamat politik, Rocky Gerung mengkritik penyataan Presiden Jokowi yang menyebut Indonesia tidak mengenal oposisi.

Kritikan tersebut disampaikan Rocky Gerung saat dirinya membahas masalah revisi UU ITE.

Menurutnya, pernyataan Presiden Jokowi tersebut tidak tepat dan menyalahartikan demokrasi.

Baca Juga: Dukung Polri Berantas Mafia Tanah, Kompolnas Benny Mamoto: Ada Dugaan Kongkalikong dengan Oknum Pemerintah

Untuk diketahui, pernyataan Jokowi tersebut disampaikannya pada Kamis, 24 Oktober 2019 saat menjawab pertanyaan soal bergabungnya Partai Gerindra, yang sebelumnya berseberangan, menjadi masuk dalam Kabinet Indonesia Maju.

Pernyataan Jokowi tidak hanya ditanggapi oleh Rocky Gerung, namun juga mendapat tanggapan dari ahli hukum tata negara, Refly Harun.

Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan kekeliruan Jokowi dalam melihat sistem pemerintahan.

Baca Juga: GAR ITB Dikabarkan Dapat Karangan Bunga dari Universitas, Said Didu: Baru Kali Ini Buzzer Atasnamakan Alumni

“Ketika Presiden Jokowi mengatakan, soal bergabungnya Gerindra dalam pemerintahan karena kita tidak ada oposisi, ini kekeliruan melihat sistem pemerintahan. Sebab, dalam sistem pemerintahan itu tidak ada namanya partai politik yang bergabung. Karena kekuasaan eksekutif itu kekuasaan yang mandiri, terpisah dari kekuasaan legislatif,” ujar Refly Harun dalam kanal YouTube-nya, yang diunggah pada 22 Februari 2021, seperti dikutip Pikiranrakyat-depok.com.

Refly Harun menjelaskan, para menteri yang direkrut pemerintah, meski berasa dari partai politik, sebenarnya mengatasnamakan pribadi.

“Dia harusnya lepas dari partainya ketika dia masuk ke dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Mereka tidak memiliki visi dan misi partai masing-masing. Mereka hanya punya visi dan misi presiden,” tutur Refly Harun.

Baca Juga: Dukung Polri Berantas Mafia Tanah, Kompolnas Benny Mamoto: Ada Dugaan Kongkalikong dengan Oknum Pemerintah

“Tentu imbalannya, Presiden berharap dukungan dari partai. Tetapi itu adalah dampak yang diinginkan, konsekuensi. Tetapi, kalau kita bicara membaca sistemnya (di Indonesia), tidak demikian. Bukan partai yang memerintah seperti parliamentary government, tetapi yang memerintah adalah kekuasaan eksekutif tunggal atas nama Presiden,” sambung Refly Harun.

Menurut Refly Harun, jika pernyataan Presiden Jokowi tersebut dimaksudkan sebagai pembagian seperti sistem parlementer, hal tersebut merupakan cara pandang yang salah.

Sebab, dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menganut presidensial, harus tetap ada oposisi, dalam hal ini DPR.

Baca Juga: Oknum Polisi Jual Senjata ke KKB Papua, Adhie Massardi: Tragis, Beli dengan Uang Rakyat, Dipakai Nembak Rakyat

“Dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti itu yang terjadi, semua anggota DPR itu harus dianggap oposisi terhadap eksekutif karena mereka menjalankan tugas pengawasan,” kata Refly Harun.

Lebih lanjut, Refly Harun menjelaskan, bahwa dalam substansi demokrasi dibutuhkan adanya pengawasan, sehingga oposisi sangat dibutuhkan.

Sebab, jika pemerintahan berjalan tanpa oposisi atau satu arus, maka demokrasi tidak akan berjalan.

Baca Juga: Said Didu Beberkan ‘Prestasi’ yang Akan Diwariskan Jokowi, Stafsus Menkeu: Hindari Tebar Pesimisme

“Kalau kita bicara substansi dari demokrasi, ya menghargai perbedaan pendapat. Ada namanya check and balance, saling awas dan saling mengimbangi. Jadi, demokrasi tidak akan berjalan kalau hanya ada satu arus saja,” ujar Refly Harun.

“Tapi memang bisa saja terjadi grand coalition, ya itu di dalam sistem parlementer. Tapi dalam sistem presidensial, yang namanya parlemen, itu terpisah dari pemerintah. Walaupun ada satu dua orang masuk dalam kabinet, bukan berarti partai kemudian menjadi partai pemerintah,” tuturnya.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan

Tags

Terkini

Terpopuler