PR DEPOK – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim mengungkapkan pendapatnya terkait revisi UU Pemilu.
Ia menjelaskan, fraksinya sejak awal mendukung revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Akan tetapi, ketentuan jadwal Pilkada Serentak pada 2024 yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak perlu diubah.
Baca Juga: Lagi-lagi Terjadi, DPRD Sumbar Selidiki Dugaan Penyelewengan Dana Covid-19 Senilai Rp160 Miliar
Menurutnya, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada belum perlu direvisi lantaran UU tersebut belum dijalankan 100 persen mengingat baru dijalankan pada Pilkada 2018 dan 2020.
“Ketentuan Jadwal Pilkada serentak November 2024 yang diatur pada Pasal 201 Ayat 8 UU Pilkada, beri kesempatan dipraktekkan terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan evaluasi,” kata Luqman Hakim dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari Antara.
Sejak awal, PKB menginginkan revisi UU Pemilu guna memperbaiki berbagai aturan pemilu yang tercantum dalam UU tersebut.
Baca Juga: Barcelona Lepas Dirinya karena Faktor Usia, Luis Suarez: Saya Kesal, Sangat Tidak Suka Sikap Mereka!
Ia menuturkan, UU Pemilu telah dilaksanakan 100 persen pada Pemilu 2019 dan PKB telah melakukan evaluasi mendalam atas pelaksanaan Pemilu tersebut.
“Kebutuhan merevisi suatu UU (Pemilu), menurut PKB harus melihat dua aspek penting, yaitu aspek substansi materi legislasi yang bersumber dari evaluasi Pemilu 2019 dan aspek prosedur dan mekanisme pembentukan UU,” tuturnya.
Luqman Hakim menjelaskan bahwa pada aspek substansi materi legislasi, upaya revisi UU Pemilu penting dilakukan.
Selain itu, aspek substansi harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019 lalu.
Ia memberi contoh, banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia akibat aturan penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara.
“Sedangkan batas maksimum hak pilih tiap TPS masih sangat tinggi, yakni 500 pemilih dengan lima kertas suara”
“Beban penghitungan yang dibatasi waktu, menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan, sakit dan meninggal dunia,” ucapnya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, praktik politik uang atau money politics pada Pemilu 2019 semakin massif dan besar angkanya.
“Hal itu diketahui apabila dibandingkan dengan Pemilu 2014 dan 2009,” kata Luqman Hakim.
Baca Juga: Berdasarkan Survei, Tahun 2025 Indonesia Butuh Ratusan Juta Pekerja Bidang Digital
Menurut politisi PKB itu, tindakan tersebut massif disebabkan aturan penegakan hukum terhadap praktik politik uang yang tidak tegas dan efektif.
“Semakin kuatnya pengaruh politik dalam Pemilu, tentu merusak hakikat demokrasi dan menyebabkan kekuasaan yang dihasilkan pemilu mengalami penurunan legitimasi dan cenderung korup,” ucapnya.
Luqman Hakim menerangkan, agar revisi UU Pemilu dapat berjalan maka harus ada kesediaan pemerintah dan DPR untuk bersama-sama membahas revisi UU tersebut.
Baca Juga: KPK Menanggapi Pernyataan Edhy Prabowo Yang Siap Dihukum Mati
Menurut pengurus GP Ansor itu, sebuah UU tidak bisa dibahas dan diputuskan oleh satu pihak saja.
Oleh sebab itu, Fraksi PKB berada dalam posisi siap membahas revisi UU Pemilu bersama pemerintah dan fraksi-fraksi lain di DPR.
“Saya mendengar pemerintah tidak bersedia membahas revisi UU Pemilu karena sedang berkonsentrasi penuh untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan memulihkan ekonomi nasional. Karena PKB bagian dari koalisi pemerintah, tentu kami mendukung sikap pemerintah,” ujarnya.***