PR DEPOK – Aktivis HAM, Natalius Pigai, kembali menjadi korban rasialisme, saat potret dirinya disandingkan dengan hewan.
Aktivis asal Paniai, Papua, itu belum lama ini dikritik soal penolakannya terhadap vaksin Covid-19 Sinovac yang dipakai oleh pemerintah dalam vaksinasi.
“Mohon maaf untuk sebesar-besarnya, vaksin Sinovac itu dibuat untuk manusia, bukan untuk gorilla apalagi kadal gurun. Karena menurut undang-undang gorilla dan kadal gurun tidak perlu divaksin, faham?” demikian bunyi dari rasialisme yang ditujukan kepada Natalius Pigai, sebagaimana diunggah oleh akun Facebook Ambroncius Nababan, pada Selasa, 12 Januari 2021.
Baca Juga: Meski Terdapat Larangan, Dirjen Imigrasi Konfirmasi 153 WNA Asal China Masuk Indonesia
Menanggapi serangan rasis yang dilontarkan kepada Natalius, pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai apa yang dilakukan oleh Ambroncius Nababan ini sangat tidak layak.
“Sangat tidak benar ya, sebagai orang yang jabatannya adalah sebagai tim sukses Presiden Jokowi,” ujarnya seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube Refly Harun.
Sementara itu, menurut Refly, Ambroncius yang telah menghapus unggahan rasisnya terhadap Natalius Pigai itu menunjukkan bahwa ia sadar telah melakukan kesalahan.
“Atau paling tidak dia mengantisipasi agar jangan sampai ini meluas. Ya dua-duanya bisa saja ya, jadi bisa dalam perspektif positif, bisa dalam perspektif negatif,” tuturnya.
Ia menuturkan, isu rasialisme yang menyerang Natalius Pigai ini ada lantaran rakyat terbelah menjadi dua atau disebut dengan istilah divided society.
Kelompok masyarakat yang terbagi menjadi dua ini dipicu oleh Pilpres 2014 dan 2019, di mana terjadi pengelompokkan atau bipolarisasi dukungan terhadap calon presiden dan wakil presiden.
Lebih lanjut, kata Refly Harun, dengan masuknya Prabowo dan Sandiaga ke dalam kabinet Jokowi, hal ini tetap tak bisa menghilangkan divided society tersebut.
“The divided society masih terjadi sampai sekarang paling tidak, kenapa begitu? Karena selalu mereka-mereka yang berusaha kritis terhadap pemerintahan Presiden Jokowi, itu selalu akan dikelompokkan ke dalam kelompok yang dianggap anti pemerintah, dan sekarang the common word-nya dibilang kadrun,” ujarnya.
Kelompok masyarakat yang terbelah inilah, menurutnya, yang kemudian melahirkan istilah cebong untuk pendukung Jokowi, dan kadrun untuk mereka yang kerap mengkritik presiden dan pemerintah.
Di sisi lain, ia menilai Natalius Pigai adalah salah seorang sosok yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah.
“Tapi tidak ada salah kritis terhadap pemerintahan itu, tetapi ketika kemudian mereka yang kritis dengan pemerintahan ini diperlakukan dengan rasis seperti ini, ya justru tidak justified. Tidak ada alasan bagi orang lain untuk menghina apalagi penghinaan itu terkait dengan SARA,” ujarnya.***