Disampaikan oleh Refly, pelaporan PPMK terhadap dua orang ini, yakni Natalius Pigai dan Novel Baswedan, secara logika berbanding terbalik.
“Dalam konteks Natalius Pigai, Pigai yang jelas-jelas dihina dengan kata-kata evolusi lalu ada gambar monyet. Tiba-tiba dicari cuitannya yang lama, dia pula yang dilaporkan. Ini seperti ada pesan sponsornya, padahal di situ dia mengatakan bahwa dia mengkritik soal sistem pemilu yang hanya menjadikan orang Jawa sebagai presiden,” ujarnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com dari kanal YouTube Refly Harun.
Baca Juga: Minta Rakyat tak Ragu Mengkritik, Moeldoko: Saya Pastikan Kalau Anda Lapor Tidak akan Kami Tangkap
Ketika Pigai kemudian mempertanyakan orang luar Jawa sebagai babu, lanjutnya, ia lantas disebut menghina suku Jawa.
Dengan sikap yang berbanding terbalik ini, sang pakar hukum lantas mempertanyakan kaitan organisasi PPMK yang melaporkan Pigai dan Novel Baswedan.
“Aneh rasanya, apa kaitan organisasi ini sesungguhnya? Tiba-tiba mengadukan mengadukan dan lain sebagainya,” paparnya.
Tak hanya itu, Refly Harun mengatakan Indonesia saat ini tengah berupaya membangun demokrasi, seharusnya ada toleransi untuk menghargai perbedaan pendapat.
Baca Juga: Tegaskan Tidak 'Pandang Bulu', Polri Pastikan Laporan Terhadap Novel Baswedan akan Ditindaklanjuti
Dengan demikian, jika Polri dikritik dengan disebut bersikap keterlaluan, katanya, hal tersebut bukan bentuk provokasi seperti yang dituduhkan PPMK.
“Itu bukan provokasi tapi sebuah kritik. Kenapa? Karena faktanya memang meninggal dalam tahanan, bayangkan. Kok jauh lebih penting mengadukan Novel Baswedan ketimbang mempermasalahkan orang yang meninggal di dalam tahanan?” ujar Refly.