Lebih lanjut, pengamat politik yang juga seorang filsuf itu menerangkan bahwa UU ITE yang diterapkan di Indonesia hanyalah alat untuk mengendalikan oposisi.
“Jadi poinnya bukan pada undang-undang ITE, tetapi pada ada tidaknya oposisi. Kan percuma UU ITE direvisi tapi oposisi tidak diakui oleh pemerintah. Nah presiden Jokowi sendiri yang menyebutkan ‘negeri ini demokrasi kita tidak memerlukan oposisi, karena kita pancasilais,” ucapnya menjelaskan.
Cara berpikir Presiden Jokowi ini, kata Rocky Gerung, sudah final sehingga dengan kata lain presiden tidak menghendaki adanya oposisi. Ia lantas menyarankan agar Jokowi dapat memperbaiki caranya mengambil langkah di jalur demokrasi.
“Bukan dengan mensponsori dinasti, bukan dengan mensponsori Omnibus Law, membiarkan korupsi di lingkaran dalamnya, jadi itu yang seharusnya diperbaiki, bukan sekedar ucapin UU ITE lalu semuanya simsalabim selesai, enggak,” kata Rocky Gerung menambahkan.
Menurutnya, masalah yang saat ini dihadapi lebih pemerintah lebih mendasar daripada UU ITE, yaitu tentang bagaimana istana menghormati oposisi. Ia lantas mengklaim akan percuma jika UU ITE direvisi nantinya, karena kebanyakan oposisi telah diserap ke Istana.
Baca Juga: Minta MUI Blokir Ustaz Yahya Waloni Sebagai Pendakwah, Dewi Tanjung: Sangat Mempermalukan Agama
“Tapi oposisi sudah diserap ke istana, lalu siapa yang mau bicara? Enggak ada,” kata Rocky Gerung secara tegas.
***