Slamet menjelaskan, sebelum memberikan peringatan secara virtual, pihaknya telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, serta ahli ITE.
Maka menurutnya, peringatan virtual dilakukan atas pendapat ahli dan bukan semata-mata pendapat subjektif penyidik Polri.
Slamet menyebutkan pesan peringatan akan dikirimkan sebanyak dua kali ke warganet yang diduga mengunggah konten hoaks maupun ujaran kebencian.
Tujuannya, kata dia, dalam waktu 1x24 jam konten tersebut dihapus oleh pengunggah atau pemilik akun.
Jika unggahan di medsos itu tidak dihapus, Slamet menyebut penyidik akan kembali memberikan peringatan secara virtual.
Namun, menurut dia, apabila kedua peringatan itu tidak juga dipatuhi maka pengunggah atau pemilik akun akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
“Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama, edukasi, kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual, kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice, baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum, melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga tercipta ruang siber yang bersih, sehat, beretika, dan produktif,” kata Slamet.
Lebih lanjut, Slamet mengatakan bahwa penindakan adalah langkah terakhir penanganan kasus pelanggaran UU ITE.