PR DEPOK - Pakar hukum tata negara, Refly Harun turut mengemukakan pendapat ihwal ditolaknya laporan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Perlu diketahui sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dikabarkan tidak menerbitkan laporan polisi yang hendak dibuat Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan pada Kamis 25 Februari 2021 terhadap kerumunan yang terjadi di Maumere, NTT imbas kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.
Disampaikan melalui unggahan video di kanal YouTube miliknya pada Sabtu, 27 Februari 2021, Refly Harun memaklumi keinginan sebagian masyarakat termasuk Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan agar ditegakkannya asas equality before the law (asas kesamaan dihadapan hukum).
Namun menurutnya perlu dipahami bahwa untuk orang nomor satu di NKRI, berlaku hak dan proses khusus yang berbeda dibandingkan warga negara biasa jika melakukan pelanggaran hukum dan yang bisa memperkarakan presiden hanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Seorang presiden kalau mau diproses hukum dipidana biasa ya terlebih dahulu harus dijadikan warga biasa. Tidak bisa dia dalam posisi sebagai presiden,” ujarnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com, Sabtu, 27 Februari 2021.
“Persoalan terbesarnya bukan pada pelanggaran Presiden Jokowi tapi bagaimana penanganan Habib Rizieq. Kalau memang nurani para anggota DPR merasa terusik dengan tindakan Jokowi yang berkali-kali, mereka harus memahami tidak ada institusi lain yang bisa mempersoalkan presiden kecuali DPR,” ujarnya.
Dari segi hukum presiden tak bisa dipersoalkan karena konstitusi memberi pengecualian, menurut Refly mustahil langkah DPR untuk mempersoalkan presiden, pasalnya jika dipersoalkan karena politik (termasuk pelanggaran prokes) di atas kertas suara Jokowi di DPR sangat mendominasi.
“Sepanjang Jokowi masih mengontrol mayoritas suara di DPR maka apapun yang dilakukannya termasuk pelanggaran prokes sekalipun pasti akan dibela oleh partai-partai pengusungnya,” kata Refly.
Maka kata Refly, dalam momentum ini pentingnya Jokowi menunjukan komitmennya untuk menjunjung tinggi aturan prokes terlebih pada warga negara lain justru mempunyai konsekuensi ditangkap dan ditahan.
“Ada yang mengatakan ini bukan salah Jokowi karena kerumunan itu spontan, ini alasan yang tidak justified. Kunjungan presiden itu adalah kunjungan yang terjadwal termasuk jam berapa presiden akan melewati suatu tempat itu juga sudah terjadwal, sudah ada clearance dari pihak keamanan,” ucapnya.
Namun persoalannya menurut Refly adalah tidak adanya perintah dari Jokowi untuk mengamankan area yang akan dilaluinya agar terhindar dari kerumunan.
“Bahkan ketika ada kerumunan Presiden Jokowi ‘memprovokasi’ massa dengan melemparkan sesuatu dari dalam mobil. Akibatnya massa makin berkerumun. Sama halnya dengan saat melemparkan sembako yang sempat viral yang juga mengakibatkan kerumunan,” tuturnya.
Refly menjelaskan, setidaknya sudah ada tiga sampai empat kali Jokowi melanggar prokes dan sama sekali tidak ada proses kritik formal secara institusional oleh DPR untuk mengingatkan kepada Jokowi bahwa seorang presiden pun dilarang melanggar hukum.***