Dampaknya, jelas dia, yakni tidak banyak civil society terutama aktivis antikorupsi yang mau berdiri lagi di depan KPK dalam menghadapi serangan-serangan elite politik.
“Ini mengkhawatirkan. Kalau kemudian mengatakan the end of KPK history, tidak terlalu berlebihan. Karena memang diharapkan,” ucapnya.
“Tapi, KPK harus lebih berat di penindakan karena di situlah fungsi utama KPK dibandingkan dengan institusi lainnya,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Refly Harun menuturkan bahwa hanya ada tiga institusi yang dapat melakukan penindakan, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
“Harusnya Presiden sendiri yang memimpin pemberantasan korupsi di sektor hulu, yaitu melakukan pencegahan korupsi dengan membuat strategi-strategi yang jitu,” ujar dia.
Jadi ketika ide untuk membubarkan KPK pada saat ini, maka sesungguhnya KPK belum menyelesaikan tugasnya,” kata Refly Harun lagi.
Dengan demikian, ia menilai bahwa hal ini merupakan titik lemah pemberantasan korupsi di Republik Indonesia sejak pemerintahan Presiden Jokowi bergulir, terutama menjelang akhir jilid satu dan jilid dua.
“Tidak tampak lagi gairah untuk memberantas korupsi, terutama memperkuat lembaga antirasuah, tidak tahu alasannya kenapa,” tuturnya menambahkan.