Laporan Dugaan Pelanggaran Prokes Jokowi Ditolak, Refly Harun: Tak Ada yang Bisa Memperkarakan Kecuali DPR

HM
- 28 Februari 2021, 12:05 WIB
Ahli hukum tata negara, Refly Harun.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun. /Antara

PR DEPOK - Pakar hukum tata negara, Refly Harun turut mengemukakan pendapat ihwal ditolaknya laporan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Perlu diketahui sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dikabarkan tidak menerbitkan laporan polisi yang hendak dibuat Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan pada Kamis 25 Februari 2021 terhadap kerumunan yang terjadi di Maumere, NTT imbas kedatangan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.

Disampaikan melalui unggahan video di kanal YouTube miliknya pada Sabtu, 27 Februari 2021, Refly Harun memaklumi keinginan sebagian masyarakat termasuk Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan agar ditegakkannya asas equality before the law (asas kesamaan dihadapan hukum).

Baca Juga: Jokowi Legalkan Investasi Miras, Haikal Hassan: Artinya Setiap Sila dalam Pancasila Kita Dilanggar

Namun menurutnya perlu dipahami bahwa untuk orang nomor satu di NKRI, berlaku hak dan proses khusus yang berbeda dibandingkan warga negara biasa jika melakukan pelanggaran hukum.

“Seorang presiden kalau mau diproses hukum dipidana biasa ya terlebih dahulu harus dijadikan warga biasa. Tidak bisa dia dalam posisi sebagai presiden,” ujarnya sebagaimana dikutip Pikiranrakyat-Depok.com, Sabtu, 27 Februari 2021.

Secara teoritis menurut Refly dalam posisi sebagai orang nomor satu di negaranya, presiden tidak boleh diperkarakan, yang menjadi konsekuensi jika negara menganut pasal-pasal impeachment.

Baca Juga: Polemik Dilegalkannya Miras Berlanjut, Christ Wamea: Pemimpin Taat Tak Mungkin Izinkan Miras di Negaranya

“Bayangkan jika presiden diadukan dengan pencemaran nama baik, diadukan ini itu. Pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik. Karena itulah konstitusi kita sudah mengatakan bahwa presiden itu bisa dijatuhkan dengan dua sebab. Pertama melakukan pengkhianatan terhadap negara, seperti suap, korupsi dan tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Kedua, tidak memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden,” ujarnya melanjutkan.

Maka dari itu, jika pelanggaran protokol kesehatan itu dikualifikasikan dalam pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan yang ancaman hukumannya itu hanya satu tahun (pasal 93) maka belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana berat lainnya sebagaimana disebut dalam sebab pertama.

“Tapi apakah akan masuk dalam klausul perbuatan tercela yang dalam UU disebutkan misalnya judi, zina, mabuk. Tapi itu bukan sebuah garis yang sifatnya limitatif, itu adalah contoh dan itu bisa berkembang. Hanya masalahnya adalah pelaporannya bukan ke polisi, melainkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” ujarnya.

Baca Juga: Laporan Dugaan Pelanggaran Prokes di NTT Ditolak, Refly Harun: Jokowi Harus Komitmen Soal Aturan

Ia menuturkan bahwa jika laporan ini dialamatkan ke DPR dan DPR ingin memproses laporan ini maka bisa menggunakan hak-haknya.

Hak tersebut termasuk hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, hingga hak menyatakan pendapat.

“Jadi kita tidak bisa mengadukan presiden ke polisi harusnya kita mengadukannya kepada DPR dan DPR yang memproses itu,” kata Refly Harun.

Baca Juga: Minta Ma'ruf Amin Bantu Cabut Izin Investasi Miras, Said Didu: Mohon Gunakan Kekuasaan untuk Selamakan Umat

Tentu masyarakat akan mempertanyakan equality before the law seperti yang tercantum dalam konstitusi  merulakan asas umum yang berlaku bagi semua warga negara.

Tetapi konstitusi UUD 1945 memberikan pengecualian yang lazim, yakni untuk seorang presiden.

“Persoalan terbesarnya bukan pada pelanggaran Presiden Jokowi tapi bagaimana penanganan Habib Rizieq. Kalau memang nurani para anggota DPR merasa terusik dengan tindakan Jokowi yang berkali-kali, mereka harus memahami tidak ada institusi lain yang bisa mempersoalkan presiden kecuali DPR,” ujarnya.

Baca Juga: Nurdin Abdullah Bersumpah Tak Tahu Apa-apa Soal Korupsi, Gus Umar: Dasar Koruptor, Teganya Bawa Nama Allah

Dari sisi hukum presiden tak bisa dipersoalkan karena konstitusi memberi pengecualian, menurut Refly mustahil langkah DPR untuk mempersoalkan Presiden, pasalnya jika dipersoalkan karena politik (termasuk pelanggaran prokes) di atas kertas suara Jokowi di DPR sangat mendominasi.

“Sepanjang Jokowi masih mengontrol mayoritas suara di DPR maka apapun yang dilakukannya termasuk pelanggaran prokes sekalipun pasti akan dibela oleh partai-partai pengusungnya,” kata Refly.

Maka kata Refly, disinilah pentingnya Jokowi menunjukan komitmennya untuk menjunjung tinggi aturan prokes terlebih pada warga negara lain justru mempunyai konsekuensi ditangkap dan ditahan.

Baca Juga: Sesuai Pemeriksaan Saksi, Nurdin Abdullah Kini Berstatus Tersangka Dugaan Korupsi Perizinan dan Pembangunan

“Ada yang mengatakan ini bukan salah Jokowi karena kerumunan itu spontan, ini alasan yang tidak justified. Kunjungan presiden itu adalah kunjungan yang terjadwal termasuk jam berapa presiden akan melewati suatu tempat itu juga sudah terjadwal, sudah ada clearance dari pihak keamanan,” ucanya.

Namun persoalannya menurut Refly adalah tidak adanya perintah dari Jokowi untuk mengamankan area yang akan dilaluinya agar terhindar dari kerumunan.

“Bahkan ketika ada kerumunan Presiden Jokowi memprovokasi massa dengan melemparkan sesuatu dari dalam mobil. Akibatnya massa makin berkerumun. Sama halnya dengan saat melemparkan sembako yang sempat viral yang juga mengakibatkan kerumunan,” tuturnya.

Baca Juga: Geram Kerumunan Jokowi di NTT Disamakan dengan HRS, Dewi Tanjung: Hanya Orang Bodoh yang Permasalahkan itu

Lebih lanjut kata Refly setidaknya sudah ada tiga sampai empat kali Jokowi melanggar prokes dan sama sekali tidak ada proses kritik formal secara institusional oleh DPR untuk mengingatkan kepadanya bahwa seorang presiden pun dilarang melanggar hukum.***

Editor: Ahlaqul Karima Yawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x