“Jadi jalannya berliku. Suruh cabut dulu AD/ART (tahun) 2020, lalu berlaku AD/ART (tahun) 2005 dan kemudian sangat mungkin tiba-tiba diselenggarakan KLB baru berdasarkan AD/ART (tahun) 2005,” tutur Refly Harun.
Pada saat itulah, lanjut dia, Kemenkumham memiliki hak subjektivitas untuk mengakui mana kepengurusan yang sah dan mana yang tidak.
“Sangat tergantung juga dari konstelasi politiknya, apakah konstelasi politik Istana menghendaki Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat sehingga dukungan terhadap Jokowi kuat. Atau justru elite-elite itu tidak menghendaki Moeldoko menguasai Partai Demokrat,” tuturnya lagi.
Menurut Refly Harun, polemik yang terjadi di tubuh Partai Demokrat tersebut masih menyisakan beberapa pertanyaan.
“Kecuali dengan tegas Presiden Jokowi (Joko Widodo) memecat Moeldoko dan mengatakan, ‘Biarlah Moeldoko mengurusi Partai Demokrat sebagai warga negara, tapi jangan ikutkan Istana dalam perseteruan ini’,” ucapnya.
Dengan demikian, Refly Harun menilai bahwa hal itu akan mengonfirmasikan bahwa Jokowi tidak terlibat apa-apa.
“Tapi kalau Jokowi membiarkan kubu Moeldoko menggugat dan mempertahankan Moeldoko sebagai KSP, nah itu menunjukkan Jokowi bermain di dua kaki,” ujar Refly Harun.***