Komnas HAM Minta Pemerintah Tanggapi Serius untuk Tidak Lanjutkan Pembahasan Omnibus Law

14 Agustus 2020, 17:59 WIB
Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) melakukan aksi damai #GejayanMemanggilMenolak Omnibuslaw di Gejayan, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (9/3/2020). Dalam aksi yang diikuti ribuan mahasiswa serta masyarakat dari berbagai elemen itu mereka menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat. /Andreas Fitri Atmoko/ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/foc.

PR DEPOK - Penolakan omnibus law tentang kemudahan investasi ini mencakup RUU Cipta Kerja (Cilaka), RUU Perpajakan, dan RUU UMKM masih menjadi fokus utama rakyat Indonesia saat ini.

Dalam omnibus law, pemerintah pusat bermaksud mendorong investasi dan kemudahan dalam berbisnis di Indonesia.

Akan tetapi, omnibus law terus dikritik dan ditolak karena berpotensi mengurangi hak dasar pekerja (gaji, cuti, dsb), peran pemerintah pusat yang semakin kuat, dan risiko lingkungan yang lebih besar (kemudahan AMDAL dan izin bangunan).

Baca Juga: Sidang Tahunan MPR Digelar Hari Ini, Berikut Susunan Acara dan Rekayasa Lalu Lintas Selama Acara 

Omnibus law ini mengamandemen 73 aturan. Tertuang dalam 1.028 halaman, omnibus law terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.

Terkait hal tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) menerbitkan siaran pers yang meminta agar Presiden dan DPR mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja (omnibus law), dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dikutip Pikiranrakyat-depok.com dari situs Komnas HAM RI, Jumat, 14 Agustus 2020, berikut adalah hasil kajian atas RUU Cipta Kerja, Komnas HAM RI berkesimpulan bahwa:

Baca Juga: JPO Ikonik 'Selamat Datang' Diresmikan, Konsep Tradisional Diusung Bisa Jadi Spot Swafoto Baru 

1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Hal ini khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011 yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Pengumuman SBMPTN 2020, Unpad Imbau Waspadai Modus Penipuan Berkedok Penerimaan Mahasiswa Baru 

3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel.

4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya sehingga apabila RUU Cipta Kerja (omnibus law) disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini
akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum.

5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Hal ini di antaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)/kontrak, kemudahan dalam proses/mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja, penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan berorganisasi.

Baca Juga: Ada Tiga Insentif Baru, Bapenda Jabar Berikan Diskon Pajak Kendaraan Bermotor hingga 10 Persen 

6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi.

Hal ini di antaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, hilangnya Komisi Penilai Amdal, perubahan konsep pertanggungjawaban mutlak sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.

7. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga yang mengawasi kebijakan tata
ruang dan wilayah sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup.

Baca Juga: Jessica Mila Menderita Skoliosis Sejak SMP, Berikut Penyebab dan Gejalanya 

8. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU No. 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan membuka semakin luasnya objek yang masuk kategori kepentingan umum, padahal tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Serta, kemudahan atas prosedur penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi) ke Pengadilan Negeri sehingga berpotensi memicu meluasnya penggusuran paksa atas nama pembangunan.

9. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi).

Baca Juga: Dua Pria Bergergaji Mesin Ngamuk dan Meneror Pengunjung Pantai di Kanada 

Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 (sembilan puluh) tahun.

10. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang/kelompok pelaku usaha/korporasi sehingga menciderai hak atas persamaan di depan hukum.

Hal ini terkait dengan perubahan ketentuan penghukuman dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran awal, di mana sanksi pidana penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak dibayarkan. Hal ini diberlakukan atas: 1) hukum lingkungan, 2) penataan ruang, 3) bangunan gedung, 4) pangan, dan 5) monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.***

Editor: M Bayu Pratama

Sumber: Komnas HAM

Tags

Terkini

Terpopuler